Biola Dawe, Tingkatkan Kasta Bambu

  • 30 Mar
  • bidang ikp
  • No Comments

Kudus – Irama biola Gambang Semarang mengalun merdu di Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kudus. Mendung yang menyelimuti sore itu membuat suasana semakin mendayu.
Adalah Pak Ngatmin atau biasa disapa Mbah Min, yang menyuguhkan irama apik itu. Tak seperti biola kebanyakan yang terbuat dari kayu, Mbah Min memainkan biola dari bahan baku bambu yang diproduksinya.
Ditemui di rumah sekaligus tempat produksinya benerapa waktu lalu, Mbah Min mengisahkan yang melatarbelakanginya memilih bambu sebagai baku biola. Awal mula ia tertarik menggunakan bambu karena ketersediannya di Dawe cukup melimpah  dan belum dimanfaatkan dengan baik.
“Saya waktu itu melihat bambu banyak sekali, dan tidak dimanfaatkan, kenapa tidak dibuat kerajinan saja,” terangnya.
Selain karena bahan baku yang melimpah di sekitar tempat tinggalnya di lereng Gunung Muria, biola bambu juga juga memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki biola kayu. Salah satu kelebihan yang paling kentara adalah bunyi yang dihasilkan biola bambu lebih nyaring dibanding biola kayu. Bambu juga memiliki resonansi suara yang bagus, seperti pada seruling atau angklung yang juga terbuat dari bambu.
Namun, tidak sembarang bambu bisa digunakan untuk membuat biola. Mbah Min hanya menggunakan dua jenis bambu, yaitu bambu petung dan bambu wulung. Kedua jenis bambu itu pun memiliki karakteristik yang berbeda.
“Bambu petung menghasilkan suara sopran dan bambu wulung menghasilkan suara tenor,” jelasnya.
Bambu yang dipilih Mvah Min tergolong istimewa. Bambu jenis petung dan wuluh yang ia gunakan harus berukuran besar. Untuk mendapatkannya, rata-rata umur bambu berumur 10 tahun dan tumbuh di ketinggian kurang lebih 1.000 meter di atas permukaan laut. Setelah itu bambu dipotong, kemudian dijemur hingga benar-benar kering. Proses pengeringan membutuhkan waktu lima sampai enam bulan karena mengandalkan panas matahari. Baru setelah benar-benar kering, bambu dibentuk dan diukir menjadi biola.
Berbekal keterampilan mengolah kayu yang ia dapatkan sewaktu menjadi perajin kayu di Jepara, Mbah Min mulai membuat kreasi unik biola bambu. Tak sekadar memroduksi, ia juga piawai memainkan alat musik gesek itu.
Ketrampilan bermusik tidak ia dapatkan dengan tiba-tiba. Sejak 1999, Mbah Min ikut saudaranya untuk mengajar biola di Bogor. Meskipun hanya lulusan SD, kini ia mahir bermain biola sebagai hasil latihannya secara otodidak selama bertahun-tahun. Dari semula mengajar, Mbah Min sadar bahwa permintaan akan biola cukup tinggi. Peluang bisnis inilah yang ia tangkap dan ia kembangkan hingga kini.Pria kelahiran 30 Oktober itu terus bereksperimen dengan biola kayunya.
Bongkar pasang menyetel biola secara manual, menggunakan video Youtube, hingga menggunakan aplikasi chord tuner via android. Butuh berkali-kali percobaan hingga akhirnya Mbah Min menemukan formulasi pas biola yang ia inginkan.
Berkat keunikan, kreativitas, dan kejeliannya menangkap peluang, Mbah Min kini dikenal sebagai satu-satunya pembuat biola bambu di Indonesia. Biola yang dihasilkan pun memiliki ciri khas berbeda dengan biola pada umumnya. Ia memberi identitas berupa figur wayang, garuda, dan kuda pada bagian ujung biola. Diversifikasi juga ia lakukan di wadah biola yang ia produksi. Hardcase pun ia buat semenarik mungkin untuk menonjolkan identitas Indonesia.
“Sengaja saya buat hardcase-nya bermotif batik untuk membedakan dengan biola buatan Eropa atau Cina” ujarnya sambil tersenyum.
Di pasar domestik, biola bambu Mbah Min sudah cukup punya nama. Pesanan datang dari seluruh Indonesia mulai dari Semarang, Bali, dan Kalimantan. Untuk satu biola bambu Mbah Min mematok harga Rp 3 juta. Lebih mahal dibanding biola kayu yang dipatok Rp 1,5 juta, namun kualitas dan ketahanan biola bambu lebih baik dibandingkan biola kayu.
Mbah Min berharap seni musik biola bisa masuk ke kurikulum sekolah. Ia pun memiliki impian untuk meningkatkan kasta bambu agar lebih bernilai jual. Lewat biola bambu, Mbah Min bukan hanya berhasil meningkatkan nilai dan popularitas bambu, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar lereng Muria.
“Syarat membuat biola bambu itu ada tiga. Yang pertama perajin harus tahu dasar pertukangan kayu. Yang kedua pandai mengukir. Yang ketiga tentu saja harus mengerti musik,” ungkapnya.
Salah satu kendala yang ditemui Mbah Min adalah pemasaran. Diakui, produk lokal kadang susah bersaing dengan produk luar, meskipun secara kualitas setara atau bahkan lebih baik.
Kendala ini rupanya juga ditangkap oleh Dinas Koperasi dan UKM Jawa Tengah. Kasi Pemasaran Dinkop UKM Jateng Sucahyo menyampaikan, untuk mengatasi kendala itu pihaknya tak tinggal diam. Dinasnya terus berupaya memfasilitasi biola bambu agar bisa ikut pameran dan expo tingkat nasional.
“Kami juga membawa beberapa biola bambu untuk dipamerkan di SMESCO gallery Indonesia di Jakarta. Biola bambu punya potensi keunikan dan kreativitas. Dengan banyaknya investor asing yang merujuk SMESCO untuk produk UKM, kami berharap biola bambu bisa go international,” ujarnya. (Me/Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait