Maret, GTT SMA/SMK Akan Terima Honor UMK plus 10 persen

  • 21 Mar
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang – Keterlambatan pemberian honorarium bagi para guru tidak tetap (GTT) SMA/ SMK akibat peralihan kewenangan dari pemerintah kabupaten/ kota ke pemerintah provinsi, segera terselesaikan. Honor bagi para GTT direncanakan akan dibayarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada Maret 2017.

 

Saat menghadiri acara ‘Gayeng Bareng Gubernur Jateng’ yang dibawakan langsung oleh Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP di Studio TVRI Jawa Tengah, Senin (20/3), Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jawa Tengah Gatot Bambang Hastowo menyampaikan jumlah honor yang diberikan dihitung dari besaran UMK masing-masing kabupaten/ kota ditambah 10 persen. Sehingga akan ada peningkatan kesejahteraan bagi para GTT.

 

Gatot menerangkan gaji GTT akan dibayarkan secara utuh dengan ketentuan pendidikan GTT harus linier dengan mata pelajaran yang diajarkan dan jumlah jam mengajar minimal 24-40 jam. Bahkan, gaji Januari-Februari yang saat itu ditalangi oleh pihak sekolah juga akan dibayarkan.

 

“Untuk teman-teman GTT yang mengajarnya minimal 24 sampai maksimal 40 jam mengajar per minggunya ini sudah disiapkan dananya oleh pemerintah provinsi. Kemudian besarannya nanti adalah UMK kabupaten/ kota plus 10 persen,” katanya.

 

Menurut mantan Sekretaris KPU Jawa Tengah ini, keterlambatan pembayaran gaji GTT terjadi karena pada masa peralihan diperlukan pendataan dan dasar hukum pemberian honorarium. Namun, para GTT tidak perlu risau karena besaran gaji yang diterima akan lebih besar dibandingkan saat masih menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/ kota.

 

“Karena rohnya ini naik dari kabupaten/ kota ke provinsi maka kesejahteraannya juga harus dinaikan,” terang Gatot.

 

Sementara itu menanggapi belum cairnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikeluhkan oleh SMA/ SMK Negeri, dia menyampaikan keterlambatan pencairan BOS karena adanya perbedaan antara Permendagri dan Permendiknas. Di dalam Permendagri, BOS harus dicairkan melalui belanja langsung, sedangkan dalam Permendiknas dana tersebut dapat dicairkan dalam bentuk hibah seperti pada tahun sebelumnya.

 

Untuk mengatasi perbedaan peraturan tersebut, pihaknya akan menerbitkan Surat Edaran (SE) Kepala Disdikbud. Sehingga, dalam waktu dekat ini BOS dapat dicairkan langsung dari rekening Disdikbud ke rekening sekolah.

 

“Uang BOS sudah di rekening provinsi dan kami sudah merancang untuk mengeluarkan SE agar uang BOS tidak belanja langsung tapi langsung ke rekening sekolah,” ujarnya.

 

Pungutan Dibolehkan

Dalam kesempatan yang sama, Gatot juga meyampaikan permasalahan tentang pungutan sekolah untuk para orang tua murid yang dianggap sebagai pungutan liar (pungli). Menurutnya pungutan tersebut diperbolehkan karena di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan biaya pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sehingga pungutan tersebut bukan kategori pungli asalkan besaran pungutan dibicarakan melalui forum komite sekolah dan disetujui oleh orang tua murid.

 

“Dalam PP 48 Tahun 2008 lebih menegaskan lagi bahwa tanggung jawab pendidikan itu tidak hanya pemerintah saja tapi harus dengan masyarakat,” ungkapnya.

 

Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Pendidikan dari Unika Turiman Taruno. Menurutnya, menggali dana dari masyarakat untuk keperluan biaya pendidikan sangat diperbolehkan. Selama ini masyarakat sudah dininabobokan oleh istilah gratis sebelum ada peralihan kewenangan yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Padahal biaya pendidikan yang digratiskan hanya wajib belajar sembilan tahun yakni dari SD hingga SMP.

 

“Sehingga ketika ada pungutan itu dipersoalkan oleh masyarakat sendiri. Tapi sebetulnya sangat boleh karena masyarakat bertanggung jawab untuk pendanaan pendidikan,” katanya.

 

Ketua Musyawarah Kerja Kepala SMK Jawa Tengah yang juga Kepala SMKN 1 Bawen, Jumeri mengatakan perlu adanya payung hukum di tingkat pemerintah provinsi yang dapat dipakai untuk berdiskusi dengan orang tua murid dalam menarik dana dari masyarakat. Payung hukum tersebut sekaligus menepis anggapan pungli saat pihak sekolah hendak menarik partisipasi masyarakat dalam pendanaan, khususnya pada SMA/ SMK yang sebelumnya menggratiskan biaya pendidikan.

 

“Setidaknya ada payung hukum yang kami pakai untuk bisa berdiskusi dengan orang tua dan sekaligus untuk mengatasi beberapa kabupaten/ kota yang sebelumnya menggratiskan SMA/SMK sekarang harus berjuang untuk menarik partisipasi masyarakat,” ujarnya.

 

Jumeri menambahkan, selama ini pihaknya tidak pernah menggratiskan biaya pendidikan karena dana BOS tidak memungkinkan untuk membiayai seluruh operasional sekolah. Namun pihaknya juga tetap mengalokasikan 20 persen dana pendidikan bagi siswa tidak mampu.

 

Reporter : Kh, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait