Disabilitas pun Bisa Berdaya Tanggulangi Bencana

  • 13 May
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang – Jangan anggap penyandang disabilitas tak berdaya. Mereka bukanlah orang yang lemah, bahkan dapat diberdayakan dalam penanggulangan bencana.

Dalam dialog Suara Jateng bertema Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Inklusi, di Studio Mini Kantor Gubernur Jawa Tengah, Jumat (12/5), Ary Ananta dari Arbeiter Samariter Bund (ASB) menyampaikan berdasarkan penelitian yang dilakukan pihaknya, sebanyak 50 persen lebih penyandang disabilitas belum terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penelitian yang dilakukan pada 2014 lalu di Klaten itu, untuk mengetahui ketangguhan kaum disabilitas di kawasan rawan bencana.

Menurutnya, penyandang disabilitas sangat mungkin dilibatkan dalam berbagai kegiatan penanggulangan bencana. Sebagai contoh, sehari setelah terjadinya banjir di Grabag Kabupaten Magelang baru-baru ini, penyandang disabilitas sudah langsung membantu untuk melakukan pendataan awal dan saat ini mereka sedang melakukan pendataan mendalam, untuk mengetahui kebutuhan masyarakat terdampak bencana. Pendataan yang dilakukan tidak hanya bagi para penyandang disabilitas, tapi juga lansia dan anak-anak.

Menanggapi penuturan Ary, Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP yang menjadi moderator dalam dialog tersebut lantas menanyakan, apakah ada pengelompokkan pekerjaan yang dilakukan para penyandang disabilitas, mengingat mereka memiliki ketunaan yang berbeda-beda.

Ary pun menjelaskan, pada prinsipnya ASB tidak pernah mengotak-kotakkan pekerjaan para penyandang disabilitas. Sebab, mereka bisa mengukur kemampuan masing-masing dalam melakukan kegiatan penanggulangan bencana.

“Kalau mereka masih mampu memobilisasi dirinya sampai pada batas tertentu, itu yang dia akan lakukan. Tapi memang ada keterbatasan fungsi dan sebenarnya ruang partisipasi itu bisa dibagi-bagi.  Sama dengan pekerja kemanusiaan kan. Tidak semua jadi tim SAR. Tapi ada yang dibagi bagian logistik atau yang lain,” urai dia.

Anggota Komunitas Sahabat Mata, Basuki menyambung, pada hakekatnya naluri penyandang disabilitas ketika terjadi bencana sama dengan manusia normal. Yakni, menyelamatkan diri. Selanjutnya adalah mengeluarkan potensi yang dimiliki sehingga bermanfaat bagi sekitarnya.

Untuk bisa menyelamatkan diri sendiri, Basuki menyampaikan, penyandang tuna netra paling tidak diberi informasi. Dalam komunitasnya, disebut dengan istilah orientasi dan mobilitas. Pelatihan orientasi dan mobilitas di komunitasnya, dilakukan oleh tenaga ahli lulusan pendidikan luar biasa dan sering pula otodidak.

“Salah satu yang kita lakukan mengadakan wisata pengurangan risiko bencana. Kalau tuna netra membayangkan tsunami kan susah. Maka kita cemplungkan ke pantai, kemudian kita terangkan, ini lho gelombangnya. Dengan gelombang sekian saja kita goyang-goyang. Kalau tsunami itu bisa berkali-kali lipat,” terangnya.

Ketua Unit Layanan Inklusi Disabilitas (LIDi) Bencana BPBD Jawa Tengah, Edy Supriyanto menambahkan, kaum disabilitas perlu diberi ruang untuk berpartisipasi, maupun mengakses informasi dalam pengurangan risiko bencana. Namun, untuk itu pihaknya mengusulkan agar masing-masing daerah mempunyai unit pelayanan disabilitas sampai kabupaten/ kota. Kalau unitnya sudah sampai kabupaten/ kota, nanti organisasi disabilitasnya yang berperan sampai ke desa.

“Jadi kelembagaan disabilitas dimulai dari desa sampai ke kabupaten/ kota harus diakui dulu lembaganya,” ujarnya.

Ruang partisipasi dan akses informasi untuk mengurangi risiko bencana bagi disabilitas sangat penting. Sebab, mereka adalah kaum yang memiliki kekurangan secara fisik, sehingga kemandiriannya kurang.

“Salah satu peran LIDi adalah memberikan informasi sebelum melakukan edukasi. Apa yang bisa saya lakukan sendiri, dan apa yang bisa dilakukan oleh lingkungan saya. Saya masih bisa membawa tongkat untuk menyelamatkan diri saya. Tapi saya tidak bisa melindungi kepala saya ketika melakukan evakuasi mandiri,” beber dia sembari memberi contoh.

Edi juga memberikan contoh lain ketika seorang relawan di Grobogan hendak menolong tuna netra, justru dipukul oleh tuna netra itu. Sebab, sang relawan tidak tahu cara menyelamatkannya. Demikian juga ketika menolong tuna rungu, biasanya relawan akan berteriak-teriak agar korban tuna rungu bisa mendengar suaranya. Tapi teriakan itu justru bisa dianggap sebagai kemarahan karena mimiknya.

“LIDi beranggotakan dari semua ragam disabilitas di Jateng. Sehingga perlu dikembangkan agar BPBD mempunyai informasi yang bisa diakses semua ragam disabilitas. Kita memang supermarket bencana, tapi kita juga supermarket sumber daya penanggulangan bencana. Itu jadi dambaan kita,” tutupnya optimistis.

 

Penulis : Rt, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

 

Berita Terkait