Usulkan Anggaran Lingkungan Hidup Minimal 2,5 %

  • 21 Jul
  • bidang ikp
  • No Comments

Semarang – Indonesia merupakan negara yang berada dalam kawasan ring of fire, sehingga sering terjadi banyak bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya. Karenanya, dalam setiap kebijakan pemerintah harus memperhatikan kondisi lingkungan hidup sekitar agar bisa tetap terjaga dan lestari.

Penulis buku “Menuju Green Budgeting” yang sekaligus juga Wakil Ketua DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan, jika dalam setiap kebijakan pembangunan tidak menyertakan kesadaran mitigasi, maka akan berdampak buruk bagi lingkungan. Sebab pembangunan pasti akan berdampak pada lingkungan.

Dalam bukunya, Fikri mengungkapkan sebuah konsep green budgeting yang termasuk implementasi pembangunan berkelanjutan. Dengan green budgeting, pengalokasian anggaran harus memperhatikan lingkungan hidup.

“Buku ini adalah konsep bagaimana menuju green government atau pemerintah yang hijau yang akuntabel dan transparan. Jadi bagaimana membangun tetapi tidak untuk kepentingan kita sekarang, namun generasi muda ke depan juga diperhatikan,” katanya saat kegiatan Bedah Buku yang dikemas dalam Safari Gerakan Nasional Pembudayaan Kegemaran Membaca Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah 2018 di Wisma Perdamaian, Sabtu (21/7).

Fikri mengatakan penganggaran di sektor lingkungan hidup selama ini masih sangat minim. Indonesia saja hanya mengalokasikan 0,9 persen dari APBN, sementara Jawa Tengah rata-rata hanya mengalokasikan 0,34 persen dari APBD. Menurutnya, hal itu karena UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kurang tegas.

Jumlah alokasi anggaran itu juga jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara lain. Sebut saja, negara Afrika Ghana dan Mali yang alokasi anggaran untuk lingkungan hidup mencapai tiga persen.

“Pada aspek anggaran sudah ada ketentuannya di UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk keperluan hidup, juga kita harus memberikan dana yang cukup untuk daerah yang rawan bencana. Tapi kata memadai ini tidak ada batasan, tidak ada ketentuan,” ujarnya.

Fikri menambahkan tidak hanya masih minim, anggaran untuk lingkungan hidup tersebut tidak 100 persen bersentuhan langsung dengan lingkungan. Hanya 10-15 persen dan selebihnya untuk kegiatan rapat dan koordinasi.

“Jadi 100 persen anggaran itu paling 10-15 persen yang fokus langsung pada lingkungan atau konservasi,. Selebihnya banyak untuk rapat dan koordinasi,” tuturnya.

Alokasi anggaran lingkungan hidup juga jangan hanya untuk instansi sektoral yang mengurusi atau berkaitan langsung dengan lingkungan hidup seperti Badan Lingkungan Hidup atau Dinas PU maupun Bina Marga. Namun seluruh SKPD harus mengalokasi anggaran tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Sekda Provinsi Jawa Tengah mengatakan buku yang ditulis Mantan Wakil Ketua DPRD Jateng tersebut, bisa dibilang mengritisi kebijakan pemerintah terkait alokasi anggaran untuk mitigasi dan kesadaran lingkungan hidup sekitar. Karenanya, Sekda mengusulkan alokasi anggaran untuk lingkungan hidup sebaiknya minimal 2,5 persen. Apalagi Jawa Tengah bisa dikatakan supermarketnya bencana.

Selain itu, peran aktif masyarakat perlu ditingkatkan. Sebab, kewajiban menjaga lingkungan tidak hanya pemerintah melainkan seluruh masyarakat. Kesadaran masyarakat dinilai masih kurang dalam hal menjaga lingkungan sekitarnya.

“Saya usulkan minimal 2,5 persen, seperti pendidikan 20 persen, kesehatan lima persen. Lingkungan ini idep-idep sebagai zakat lingkungan supaya kita semua bisa gumregah, dan peran serta bukan untuk legislatif dan eksekutif saja, rakyat juga kita ajak untuk peduli terhadap lingkungan,” ujarnya.

Untuk menuju green budgeting yang berimplementasi pada pembangunan berkelanjutan, lanjut Puryono, perlu komitmen dan sinergitas dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sehingga pembangunan di Indonesia bisa memperhatikan aspek ekonomi berkelanjutan, aspek sosial berkelanjutan, dan aspek lingkungan berkelanjutan, agar ke depan generasi muda bisa menerima manfaat dari pembangunan yang dilakukan.

Deputi Bidang Pengembangan Sumberdaya Perpustakaan Perpusnas RI Woro Titi Haryanti menambahkan, Safari Gerakan Nasional Pembudayaan Kegemaran Membaca untuk menyemangati para penulis menghasilkan lebih banyak buku untuk diterbitkan.

Woro mengatakan keterbatasan akses terhadap bahan bacaan baik secara online maupun offline yang baik, sangat berpengaruh kepada minat membaca masyarakat Indonesia. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia sebesar 132 juta orang dari total jumlah penduduk. Namun 44 persen di antaranya didominasi game, 12 persen aktivitas sosial, sembilan persen tool kits, sembilan persen fotografi, enam persen musik, tiga persen bisnis dan produktivitas. Penggunaan internet untuk membaca buku juga hanya tiga persen.

Kondisi tersebyt merupakan tantangan bagi perpustakaan. Untuk mengatasi hal tersebut perpustakaan harus dapat mengelola pengetahuan masyarakat, menyebarkan pengetahuan dan informasi, membantu masyarakat dalam menginterprestasikan informasi dan pengetahuan, serta memfasilitas transfer makna dari sebuah pengetahuan.

“Dengan demikian pengetahuan yang ada di perpustakaan akan dapat termobilisasi, dan dimanfaatkan secara aktif serta lebih luas,” terangnya.

Woro berharap dengan ada revolusi industri 4.0 yang berorientasi pada digitalisasi, pustakawan harus dapat membaca perubahan masyarakat dan merekontruksikan perpustakan, untuk menyesuaikan dengan kemauan masyarakat tanpa menghilangkan esensi dari perpustakaan.

Penuls : Kh, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait