Upacara HUT ke-69 Jateng, Lapangan Simpanglima Mendadak ‘Njawani’

  • 15 Aug
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Suasana bernuansa kental Jawa Tengah terlihat pada upacara peringatan Hari Jadi ke-69 Provinsi Jateng, di Lapangan Pancasila (Simpanglima) Kota Semarang, pada Kamis (15/8/2019). Seribuan peserta upacara dari berbagai daerah dan elemen masyarakat tampak kompak mengenakan busana adat dan berbahasa Jawa Tengah.
Peserta upacara perempuan tampak cantik dan anggun dengan kebaya dan kain batik aneka corak. Pun demikian tamu undangan dan peserta pria,  berbusana adat Jateng lengkap dengan blangkon, keris, serta pernak-pernik khas Jateng. Tidak hanya busana adat, bahasa yang disampaikan oleh para pejabat dalam sambutannya juga menggunakan bahasa krama inggil. Sehingga suasana di lapangan yang lebih populer dengan sebutan Simpang Lima tersebut mendadak “Njawani” atau kental tradisional Jawa Tengah.
Suasana upacara yang njawani tersebut tidak lepas dari tanggal peringatan HUT Jateng pada tanggal 15 Agustus dan bertepatan pada hari Kamis. Pemakaian busana adat sesuai dengan Peraturan Gubernur, bahwa setiap Kamis minggu pertama, kedua dan ketiga mengenakan busana daerah Jawa, sementara Kamis minggu terakhir menggunakan busana adat nusantara.
Selain itu juga terkait pemberlakuan Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 430/9525 tertanggal 7 Oktober 2014 tentang Penggunaan Bahasa Jawa untuk komunikasi lisan, gubernur juga memerintahkan menggunakan bahasa Jawa di jajaran birokrasinya, baik untuk komunikasi formal maupun nonformal.
Sampun suwidak sanga warsa provinsi ingkang kita tresnani punika ngadek, dados bagian (perangan) Negara Kesatuan Republik Indonesia lan dipun wastani minangka bentengipun Pancasila. Punika nikmat sarta kanugrahan ingkang luar biasa dados bagian ing lebetipun lan saged sesarengan ngrengkuh bebrayan kalian panjenengan sami (Sudah 69 tahun usia provinsi yang kita cintai ini berdiri, menjadi bagian NKRI dan Benteng Pancasila. Ini anugerah luar biasa menjadi bagian dan bersama Anda semua),” kata Gubernur Ganjar Pranowo saat memberi sambutan.
Peringatan HUT ke-69 Jateng bertema “Ngrumat Bebrayan Mbangun Jawa Tengah”, gubernur selaku inspektur upacara tampil di podium mengenakan beskap merah terang lengkap dengan blangkon cokelat khas Solo. Dalam sambutannya ia mengatakan, hampir satu tahun kepemimpinan Ganjar Pranowo-Taj Yasin melaksanakan amanat rakyat. Satu tahun periode kepemimpinan Ganjar-Yasin telah berupaya keras guna mewujudkan semboyan “Berdaulat Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, dan Berkepribadian di Kebudayaan”.
Menurut gubernur, untuk mewujudkan semboyan Trisakti Bung Karno itu berat dan tidak mudah. Namun atas dukungan semua komponen masyarakat, maka semua menjadi ringan. Semua bersama-sama menjadikan Jateng semakin sejahtera dan damai, saling gotong-royong, dan mengamalkan Pancasila.
Menawi wonten pedamelan purun dipun ajak sambatan sinaosa imbalanipun utawi belanjanipun namung cekap dipun segani, utawi cukup diwenehi sega. Wah, pokokipun ngremenaken, ibarate mangan ora mangan, pokoke kudu mangan. Mbuh pripun carane. Nah, tekad pripun carane punika ingkang ndamel otak lan raga kita tansah nyambut damel. Mboten wonten ingkang mboten saged, kejawi menawi kita namung mendel kemawon (kalau ada pekerjaan mau membantu meski imbalannya hanya nasi. Pokoknya menyenangkan, ibaratnya makan tidak makan pokoknya harus makan, bagaimanapun caranya. Tekad bagaimana caranya ini yang membuta otak dan tubuh kita bekerja. Tidak ada yang tidak bisa kecuali diam saja),” bebernya dalam bahasa krama inggil.
Dalam kesempatan tersebut, mantan anggota DPR RI itu juga menekankan tentang pentingnya meningkatkan merukunan umat, merawat kebhinekaan, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Perbedaan yang ada di Tanah Air jangan menjadi pertikaian antarsesama, karena keberagaman di Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan yang harus dijaga.
Mbah Moen, KH Maemoen Zubair, salah satunggaling tokoh saking sekathahipun tokoh ingkang lantang suwantenipun njagi persatuan NKRI. Tokoh kados Mbah Moen punika ingkang ndadosaken Jawa Tengah dados bentengipun Pancasila. Sinaosa panjenenganipun alim salebetipun keislaman, nanging panjenenganipun ugi dados panutan tumrap umat agami sanesipun (Mbah Moen salah satu tokoh yang lantang menyuarakan agar menjaga persatuan NKRI. Tokoh seperti Mbah Moen ini yang menjadikn Jawa Tengah sebagai Benteng Pancasila. Meski beliau menjadi tokoh Islam, tapi juga menjadi panutan umat agama lain),” beber gubernur.
Sementara itu, salah seorang peserta upacara, Omy mengaku tidak begitu paham kalimat yang disampaikan gubernur. Peserta upacara perwakilan Kota Tegal itu hanya paham beberapa kalimat yang diucapkan gubernur dalam bahasa Jawa krama inggil tersebut.
“Kalau bahasa krama ngoko atau ngapak saya paham karena bahasa lisan kami sehari-hari menggunakan dialek daerah Tegalan. Tetapi kalau bahasa krama inggil, banyak kalimat yang tidak saya mengerti artinya,” katanya.
Meskipun tidak begitu paham dengan bahasa krama inggil, namun warga asli Tegal itu mengapresiasi kebijakan gubernur Jateng tentang penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi lisan baik formal maupun informal setiap Kamis. Dengan pemberlakuan peraturan tersebut, diharapkan bahasa daerah, termasuk dialek khas Tegal yang ngapak akan tetap lestari atau tidak hilang tergerus modernisasi.
“Saya mendukung kebijakan penggunaan bahasa daerah sebagai upaya nguri-nguri bahasa daerah, dan saya bangga dengan bahasa ngapak Tegalan. Untuk bahasa Jawa krama inggil, kalau sering saya dengar lama-lama pasti akan paham artinya. Ya idep-idep belajar krama inggil ben bahasane ora ngapak terus (Ya, hitung-hitung belajar krama inggil biar bahasanya tidak ngpak terus,” terangnya. (Humas Jateng)

Berita Terkait