Tekan Infeksi Dengue, Pemanfaatan Aedes Aegypti Berwolbachia Terus Digalakkan

  • 30 Nov
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Pemanfaatan teknologi nyamuk Aedes aegypti berwolbachia untuk menekan kasus infeksi dengue, terus digalakkan di Jawa Tengah. Pasalnya, cara itu dinilai efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) di sejumlah wilayah.

Ahli Entomologi World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, Warsito Tantowijoyo menyampaikan, kasus DBD masih menjadi masalah kesehatan yang harus dituntaskan bersama di Indonesia. Pada 2023, tercatat terdapat lebih dari 76 ribu kasus dengan kematian 571 kasus sejak Januari-November. Angka tersebut menunjukkan penurunan di banding tahun sebelumnya, yang mencapai lebih dari 143 ribu kasus, dengan 1.236 kasus kematian.

Menurut Warsito, perlu inovasi untuk menekan penyebaran dengue di Indonesia. Sehingga, dapat menekan angka kematian sekaligus mempercepat target zero dengue dead pada 2030 mendatang. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan kasus penyakit akibat virus yang dibawa nyamuk Aedes aygepti itu, dengan menerapkan teknologi nyamuk yang mengandung wolbachia.

“Wolbachia merupakan bakteri alami yang banyak ditemui pada berbagai jenis serangga. Bakteri ini akan dimasukan dalam nyamuk Aedes aegypti, hingga menetas, dan menghasilkan nyamuk Aedes aegypti berwolbachia. Dengan demikian, populasi Aedes aegypti berkurang, dan berganti menjadi nyamuk Aedes aegypti berwolbachia yang tidak menyebarkan penyakit dengue pada manusia,” bebernya, saat Sosialisasi Teknologi Nyamuk Aedes Aegypti Berwolbachia dalam Pengendalian Infeksi Dengue, di Aula Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Kamis (30/11/2023).

Warsito menekankan, wolbachia bukan merupakan hal baru, karena bakteri ini banyak ditemukan pada serangga dan kelompok hewan berbuku-buku. Bakteri wolbachia ini juga tidak bisa bertahan di udara, tanah, maupun air.

“Perlu diingat bahwa wolbachia ini bukan produk rekayasa genetik, ia banyak ditemukan di serangga dan kelompok hewan berbuku-buku. Namun, wolbachia ini tidak pernah ditemukan pada manusia dan mamalia, sehingga ini aman, dan masyarakat tidak perlu khawatir,” terangnya.

Diungkapkan, proyek nyamuk berwolbachia telah diterapkan di Yogyakarta dan Bantul. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar wolbachia, terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86 persen.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Abdul Hakam menambahkan, Semarang menjadi salah satu kota yang menjadi pilot project penyebaran nyamuk berwolbachia. Gerakan yang dinamai Wingko Semarang,  akronim dari “Wolbachia Ing Kota Semarang”, telah diluncurkan pada Mei 2023 lalu, oleh Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, di Kecamatan Tembalang, Semarang.

Dia mengatakan, ada tiga kecamatan di Kota Semarang yang telah disebar nyamuk berwolbachia, yakni Tembalang, Banyumanik, dan Gunung Pati.

“September lalu kami telah merilis nyamuk berwolbachia di Kecamatan Gunungpati. Yang perlu diketahui, bakteri wolbachia ini hanya hidup di serangga, sehingga aman bagi lingkungan dan manusia, serta serangga lain, karena tidak ada perpindahan antarserangga,” tuturnya.

Hakim mengatakan, nyamuk berwolbachia akan lebih efektif diterapkan pada wilayah padat penduduk, karena intervensi komunal. Pihaknya juga terus melakukan pemantauan dan evaluasi setidaknya enam bulan ke depan, untuk mengetahui keberhasilannya.

Tim Kerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Agus Andito menjelaskan, implementasi teknologi nyamuk berwolbachia itu sebagai pelengkap, bukan menggantikan upaya menekan kasus dengue yang sudah dilakukan sebelumnya.

“Implementasi nyamuk wolbachia tidak menggantikan upaya yang sudah kita lakukan sebelumnya. Kami juga mengimbau untuk terus melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Pemberantasan Jentik Nyamuk (PJN),” ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Yunita Dyah Suminar mengatakan, keberhasilan proyek ini sangat dipengaruhi oleh keterlibatan masyarakat, serta komitmen semua pihak, termasuk dalam menghadapi tantangan ketidakpercayaan masyarakat.

“Salah satu tantangan yang kita hadapi dalam keberhasilan proyek ini, yakni adanya hoaks yang dapat menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat. Masyarakat mungkin akan menolak karena belum memiliki pengetahuan mengenai program ini. Oleh karena itu, kami berharap baik SKPD maupun organisasi publik, dari HAKLI, IDI, maupun PKK, untuk dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, demi keberhasilan program, dan kasus DBD dapat terkendali,” ujarnya. (Lek/Ul, Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait