Tak Waras Politik Cenderung “Jualan” Fitnah

  • 15 Dec
  • bidang ikp
  • No Comments

Yogyakarta – Tahun politik tak hanya untuk menentukan sikap dan pilihan politik masyarakat. Lebih penting lagi adalah bagaimana mendewasakan demokrasi Indonesia.

“Salah satu persoalan yang dihadapi adalah bagaimana mendewasakan demokrasi Indonesia. Termasuk demokrasi di dunia maya melalui jejaring sosial yang kerapkali menjadi sarana penyebaran hoax dan fitnah,” ujar Ketua Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) yang sekaligus Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP saat memberi sambutan pada diskusi “Teras Kita” di di Balai Senat, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jumat (15/12).

Selain Ganjar Pranowo, diskusi bertajuk “Outlook 2018 Tantangan Indonesia di Tahun Politik” itu dihadiri pula Rektor UGM Panut Mulyono dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono dengan menampilkan tiga narasumber. Yakni Guru Besar Hukum Pidana UGM Prof Dr Eddy Hiariej, Deputi III Kantor Staf Presiden Denni Puspa Purbasari MSc PhD, serta staf pengajar sosiologi Fisipol UGM Dr Ari Sujito S Sos MSi.

Menurut Ganjar, 2018 tahun merupakan politik awal, sedangkan tahun politik sebenarnya pada 2019 mendatang. Namun saat ini sudah muncul beragam catatan dan unek-unek untuk meraih cita-cita.

“Gagasan-gagasan waras melawan gagasan edan yang kemudian sering kali menjadi hoax atau berita bohong dan kebencian,” ucapnya.

Menurutnya, ketika tidak waras politik maka orang yang tidak punya ide akan cenderung “jualan” isu dan menyebar fitnah. Kemudian fitnah berjamaah atau secara ramai-ramai itu dilempar melalui teknologi mutakhir yang namanya media sosial (medsos). Penyebar informasi di dunia maya yang tidak jelas sumbernya itu, jika dianalisis, sangat sedikit yang bertanggung jawab. Kedewasaan demokrasi virtualnya pun belum ada.

“Buktinya, akunnya noname, serta setiap informasi yang ditampilkan lebih banyak cerita-cerita fitnah. Padahal simpel saja, menang atau kalah itu biasa. Sudahlah, siapapun pemenangnya salaman,” katanya.

Alumni fakultas hukum UGM itu mengaku sangat tertarik dengan komentar Presiden Amerika Serikat Barack Obama, “Jika kalian memenangkan kampanye dengan memecah belah masyarakat, niscaya anda akan kesulitan untuk menyatukan kembali”.

“Sudah sangat pas Obama menyatakan itu karena dia pernah sekolah Pancasila di Indonesia,” imbuhnya.

Demokrasi sebagai satu pilihan, suka tidak suka akan memaksa kontestan. Demokrasi sebagai sistem memaksa orang menunjukkan prestasi, serta ada partisipasi masyarakat yang baik. Problemnya, bagaimana mendewasakan demokrasi pada saat orang membicarakan demokrasi Indonesia, sudah kebablasan.

Ia berharap, semua menyambut dengan sukacita tahun politik 2018. UGM sebagai perguruan tinggi serta para ilmuwan mempunyai kewajiban moral untuk menjadi wasit. Sehingga jika ada yang melanggar harus disemprit.

Demikian pula koran juga punya peran dengan tidak menjadi kompor, karena jika jadi kompor akan sangat berbahaya. Apalagi potensi bisnis untuk mengangkat para calon melalui media sangat menjanjikan.

“Sebenarnya ilmu politik itu ‘dosanya’ apa sih. Padahal bisa berbuat sangat baik sekali dan dirasakan menguntungkan masyarakat,” tandasnya.

 

Penulis : Mn, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait