Tak Ingin Anak Berzina, Bukan Berarti Harus Dinikahkan

  • 24 Jul
  • bidang ikp
  • No Comments

Purworejo – Anggapan lebih baik nikah daripada berzina, seringkali menjadi alasan orang tua untuk menikahkan anaknya meski masih berusia muda. Namun, sebaiknya anggapan itu tak menjadi senjata pembenar.

Saat Seminar Kesehatan Reprodusi Melalui Pendekatan Siklus Hidup Manusia, di Hotel Plaza Purworejo, Selasa (24/7), Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Tengah Hj Atikoh Ganjar Pranowo mengungkapkan saat ini pernikahan anak masih menjadi fenomena global. Berdasarkan data Unicef, angka pernikahan anak di Indonesia sebanyak 11,3 persen, sementara di Jawa Tengah sekitar 11,7 persen.

Menurutnya, pernikahan anak sangat berisiko terhadap kematian ibu maupun bayi. Sebab, secara anatomi, rahim anak masih belum siap dibuahi. Kematangan emosi pasangan di bawah umur pun masih belum stabil, ditambah kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan, termasuk gizi, dan kemampuan ekonomi yang belum memadai memperbesar risiko pernikahan anak.

Karenanya, Atikoh berharap pernikahan anak dihindari. Beri pemahaman kepada anak mengenai kesehatan reproduksi dan risiko pernikahan di usia muda. Di sisi lain, orang tua pun memiliki peran besar dalam pencegahan pernikahan anak dengan tidak membiarkan anak terjerumus pada pergaulan bebas.

Ditambahkan, faktor kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab pernikahan anak, di samping keyakinan dan adat istiadat masyarakat setempat. Masih ada orang tua yang melepas anaknya untuk menikah di usia anak hanya agar si anak diurus oleh orang lain. Mereka tak menyadari dengan menikah, anak diberi tanggung jawab sebagai orang dewasa, baik secara ekonomi maupun sosial.

“Saya beberapa kali juga menyosialisasikan ini. Saya pernah diprotes, ibu, kalau anak saya berzina apa ibu berani tangung jawab. Ya saya tidak berani. Ya kalau nggak ingin anaknya berzina, jangan dibiarkan pacaran,” tegasnya.

Upaya pemerintah untuk membuka akses pendidikan murah, termasuk membuka akses luas bagi warga miskin untuk mendapat pendidikan dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM), kata Atikoh, sebenarnya merupakan salah satu cara untuk menekan pernikahan anak. Dengan berpendidikan, mereka akan berupaya menggapai cita-cita yang tinggi. Sehingga, tidak ada waktu bagi mereka untuk bergaul secara bebas.

“Sayangnya, kebijakan SKTM ini disalahgunakan sejumlah orang,” keluhnya.

Kendati begitu, Atikoh berharap tak ada lagi pemberian dispensasi pernikahan karena faktor tertentu, seperti hamil sebelum nikah. Dia ingin usia pernikahan diatur berdasarkan definisi anak pada Undang-undang Anak, yang menetapkan batasan anak adalah usia di bawah 18 tahun.

“Jadi sebaiknya diklopkan antara Undang-undang Anak dan Undang-undang Pernikahan. Syukur-syukur kalau batasan usia menikah dilihat dari usia optimal anak melahirkan,” tandas Atikoh. (Ul, Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait