Stop Perkawinan Anak, Bangun SDM Berkualitas

  • 20 Nov
  • bidang ikp
  • No Comments

Semarang – Perkawinan anak merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, anak-anak yang menikah saat usianya masih sangat belia telah terampas hak-haknya. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, perlindungan, bermain, dan hak anak lainnya.

“Laporan terbaru tahun 2016 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ketujuh dengan perkawinan anak tertinggi di dunia,” terang Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dra Leny N Rosalin SE MSc MFin saat menghadiri Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak “Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat” menuju Indonesia Layak Anak (Idola) 2030 di Grhadhika Bhakti Praja, Senin (20/11).

Leny menambahkan, berdasarkan data Susenas 2016, prevalensi anak perempuan berusia 20-24 tahun di Jawa Tengah yang telah melangsungkan perkawinan pertama sebelum berusia 18 tahun sebesar 11,7 persen. Angka tersebut melebihi prevalensi nasional sebesar 11,1 persen.

“Kalau kita melihat proporsi menikah di bawah usia 18 tahun angkanya 11,7 persen. Sedangkan angka nasional 11,1 persen. Berarti untuk Jawa Tengah usia 15, 16, 17 tahun adalah critical years perkawinan anak. Sementara itu, proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah di bawah usia 15 tahun itu ada 0,2 persen, sedangkan Indonesia 0,5 persen,” bebernya.

Leny menjelaskan, perkawinan anak mengakibatkan sebagian besar anak-anak terpaksa putus sekolah. Sehingga kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka terbatas.

“Anak-anak yang menikah menurut penelitian kami 92 persen drop out dari sekolah. Sehingga angka partisipasi pendidikan turun dan memengaruhi IPM,” jelasnya.

Karena putus sekolah dan minim skills, pekerjaan yang mereka peroleh pun umumnya pekerjaan di sektor informal yang upahnya rendah. Minimnya pendapatan membuat anak-anak yang menikah dini hidup dalam keterbatasan.

Leny menegaskan, perkawinan anak hanya akan menimbulkan dampak negatif. Tak hanya hidup dalam ekonomi pas-pasan, perkawinan anak juga berbahaya dari sisi kesehatan. Sistem reproduksi anak perempuan yang menikah dini belum sepenuhnya siap untuk hamil dan melahirkan. Kerentanan itu bisa berujung pada komplikasi pada diri ibu hingga kematian. Sementara itu, bayi pun rentan gizi buruk dan stunting.

Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Jawa Tengah Hj Atikoh Ganjar Pranowo berharap, anak-anak fokus untuk mengenyam pendidikan dan meraih cita-cita mereka. Saat mereka dewasa, barulah mereka menikah dan membangun keluarga yang berkualitas.

Ketua Dekranasda Jawa Tengah itu juga berpesan kepada para pelajar yang hadir pada acara tersebut untuk siap menjadi juru kampanye stop perkawinan anak. Sehingga mereka lebih mampu mengedukasi kawan-kawan sebaya mereka dengan cara persuasif.

“Gapailah cita-cita setinggi langit. Kalau cita-citanya tinggi itu nggak akan meleng-meleng. Kejar cita-cita kalian dulu. Ibu titip agar teman-teman di lingkungan RT/RW, karang taruna, sekolah agar ditularkan virus positif (kampanye stop perkawinan anak), termasuk melalui media sosial,” pesan ibu satu putera itu.

Wakil Gubernur Jawa Tengah Drs H Heru Sudjatmoko MSi mendukung kampanye stop perkawinan anak karena gerakan bersama itu sejalan dengan upaya Pemprov Jateng untuk mengentaskan kemiskinan.

“Kalau anak menikah dini, kemudian hidupnya pas-pasan dan tidak ber-KB, maka pemerintah akan makin sulit mengentaskan kemiskinan karena muncul keluarga miskin baru. Maka mari kita bangun kualitas SDM kita dengan stop perkawinan anak,” pungkasnya.

 

Penulis : Ar, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait