Sadranan Gunung, Kearifan Lokal untuk Ketenteraman Bersama

  • 10 Oct
  • bidang ikp
  • No Comments

Temanggung – Dengan wajah harap-harap cemas, ribuan warga Desa Mranggen Kidul Kecamatan Bansari Temanggung melakukan doa bersama di punggung Gunung Sindoro, Rabu (10/10). Upaya mereka mendekat kepada Tuhan dan alam agar memperoleh nikmat dan terhindar dari bala.

Ada lantunan gending dan doa, jaran kepang, nasi megono, ingkung dan samar aroma dupa. Masyarakat setempat menamakan rangkaian acara tersebut sebagai Sadranan Gunung. Sebuah iktikad mendekat dan memahami tanda-tanda dari gunung yang menjadi dinding wilayahnya, Sindoro.

“Bermula saat gunung ini mulai terasa hangat pada tahun 2012, akhirnya setiap tahun kami mengadakan doa bersama,” kata Susilo, tokoh masyarakat Mranggen Kidul.

Bukan sekadar doa bersama, rangkaian acara yang telah berlangsung sejak Selasa (9/10) malam tersebut juga menyajikan beragam kesenian. Berbagai komunitas dan ormas pun bersatu padu memeriahkan Sewatu, salah satu tempat yang disakralkan di punggung Sindoro. Pada Rabu (10/10) siang turut hadir Gubernur Jawa Tengah, Bupati dan Wakil Bupati Temanggung.

“Semoga Gunung Sindoro hanya menyampaikan hangat, tidak sampai batuk (meletus),” harapnya.

Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP mengungkapkan, menjaga alam memang sudah menjadi salah satu tugas manusia. Dan setiap perkumpulan manusia punya caranya masing-masing yang kemudian dilakukan secara turun-temurun, bahkan menjadi kearifan lokal. Akhirnya, melahirkan kerukunan antara manusia dan alam.

“Terus secara kultural mereka membuat acara seperti sedekah yang akhirnya berlaku sampai saat ini menjadi tradisi yang menarik. Kita cuma arahkan bagaimana mereka dengan kearifan lokal yang dimiliki bisa membikin ketenteraman bersama,” ujar Ganjar usai menikmati nasi megono dengan sesuir daging ingkung ayam.

Ritual di masyarakat, imbuhnya, sudah mulai berubah. Jika dulu mereka menaruh sesaji di pohon besar, batu, atau tempat yang dipercaya makanan tersebut bakal dimakan “sesuatu”, kini makanan disajikan untuk dikonsumsi bersama oleh seluruh warga, seperti yang kali itu diselenggarakan. Namun, mengingat acara tersebut bernama Merti Gunung, mau ataupun tidak masyarakat punya tanggung jawab moral untuk sekaligus merawat alam.

“Akhirnya semua akan bisa berdoa dan mitigasi bencana. Seandainya terjadi sesuatu masyarakat tahun harus pergi ke mana sebagai sebuah peringatan. Peringatan ini dengan cara Merti gunung dengan seni dan budaya,” terang mantan anggota DPR RI ini.

Bahkan, kata Ganjar, kalau acara ini dikembangkan dan diurus secara serius akan menjadi cerita yang unik sebagai event pariwisata. Karena cerita ini membawa filsafat yang banyak, dan memberikan pelajaran ke masyarakat bagaimana kearifan itu bisa dipelihara bersama-sama. Termasuk menjaga alam dan keseimbangannya.

Selain Merti Gunung, Ganjar juga sempat menyambangi festival tembakau di daerah tersebut. Puluhan stand memamerkan beragam produk khas Temanggung. Dari kopi, tembakau, bawang sampai kerajinan tangan.

“Kita semua bisa berinovasi dan menciptakan potensi pariwisata. Tidak harus lari ke kota. Dari sini sampeyan bisa meledakkan semua potensi terlebih dengan bantuan teknologi informasi,” tandasnya. (Prov Jateng)

Berita Terkait