Potret Toleransi Tinggi Warga Desa Pancasila di Klaten, “Kita Beda Tapi Sama”

  • 31 May
  • ikp
  • No Comments

KLATEN – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pernah mengunjungi Desa Nglinggi, Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten pada Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2021 lalu. Ganjar memberikan pujian karena di desa itu, warga setempat amat membumikan nilai Pancasila. Desa ini juga dijuluki Desa Damai Berbudaya atau juga Desa Pancasila.

Dua orang warga setempat mengenakan baju muslim serta lainnya berpakaian umat Hindu tampak berboncengan menggunakan sepeda motor menyusuri jalan Desa Nglinggi, Selasa (31/5/2022). Keduanya diketahui hendak menuju rumah ibadah masing-masing. Sesekali mereka bercanda di tengah jalan.

“Kalau di Nglinggi tidak ada untuk merendahkan satu dengan yang lain tidak ada. Semuanya mengangkat kebaikan demi keutuhan, kerukunan antarumat beragama, ” kata seorang tokoh agama Hindu Desa Nglinggi, Suhardi, ditemui di Pura Tri Sakti Buana Ning, di desa tetangga, Sumberejo, Kecamatan Klaten Selatan, Selasa (31/5/2022).

Tokoh Lingkungan Katolik Desa Nglinggi, Petrus Untung mengatakan, pihaknya amat menyadari adanya perbedaan agama di wilayahnya. Namun hal itu tetap mereka hargai satu sama lain.

“Kami beda memang beda, sama memang sama. Kita saling menghargai,” katanya ditemui di rumahnya.

Petrus mencontohkan, di depan rumahnya merupakan warga beragama Islam, di mana setiap malam minggu kerap mengadakan acara hadrah, dengan suara yang keras. Meski demikian, pihaknya tidak merasa terganggu dengan aktivitas tersebut.

“Kami tidak merasa terganggu. Kalau mereka lagi nyenyaknya istirahat, tidur. Tempat kami latihan kur (paduan suara), sembahyangan bersama, mereka tidak merasa terganggu. Yang penting semua menyadari kita beda tapi sama,” ungkapnya.

Sekretaris Desa Nglinggi, Rudi Hermawan mengatakan, dari catatan pemerintah desa hingga hari ini, tercatat ada beragam agama di desanya. Rinciannya,  warga beragama Islam 1.525 orang, warga beragama Katolik 641 orang, Kristen 89 orang, Hindu 22 orang, dan Budha tiga orang.

“Artinya ini cukup menggambarkan, bahwa Desa Nglinggi ini cukup ada semua perbedaan agamanya tapi tetap kita satu. Dalam kerangka hidup rukun, toleransi ini tetap terjaga. Bahkan, kepala desa kita agamanya Kristen,” kata Wawan, sapaannya ditemui di halaman Balai Desa Nglinggi.

Dia berharap, praktik toleransi di desa yang sudah dilalui bersama ini, diharapkannya akan bertahan hingga ke depan. Sebab yang sulit itu adalah mempertahankan praktik toleransi. Dengan batasan ini, hendaknya baik minoritas maupun yang mayoritas tetap bisa menjaga hal tersebut.

Pihaknya melakukan berbagai hal untuk tetap bisa menjaga harmonisasi dan toleransi di desa. Seperti, mengedepankan sikap saling menghormati. Seperti saat ada yang meninggal dunia, pemerintah desa akan memberikan santunan, serta hadir dan membantu dalam proses penguburan.

Bahkan, setiap harinya pemerintah desa selalu mengucapkan selamat ulang tahun kepada warga yang merayakan. Biasanya, ucapan itu dilakukan pemerintah desa melalui grup aplikasi percakapan WhatsApp. Ada perangkat desa yang menangani data kependudukan yang mencatat data hari ulang tahun warganya.

“Nah ini kalau sudah pagi di grup percakapan Guyub Rukun satu Desa Nglinggi semua ikut. Yang pegang HP semua ikut. Kita klik semua yang ulang tahun hari itu diucapkan,” sambugnya.

Tidak hanya itu, setiap hari besar keagamaan, pemerintah desa juga akan mengucapkan di grup percakapan. Dengan demikian, warga desa merasa diperhatikan pemerintah desa.

“Ini sepele tapi membuat warga kita merasa diorangkan. Oh digatekke (diperhatikan) pemerintah, juga gotong royong. Sebetulnya di Indonesia, gotong royong saya lihat di masyarakat juga akan punah. Di Nglinggi, malam saja pemuda gotong royong, pagi kerja. Semangat untuk bersama dan silaturahmi itu dilakukan,” imbuhnya. (Ak/Ul, Diskominfo Jateng)

 

 

Berita Terkait