Perlu Akselerasi Atasi Kelangkaan Pasokan Garam

  • 01 Aug
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang –  Kelangkaan pasokan garam sejak beberapa pekan terakhir terjadi akibat produktivitas garam rakyat anjlok. Penurunan tersebut dipengaruhi faktor cuaca, jumlah petani garam semakin berkurang, serta teknologi pengolahan garam belum mendukung.

Hal itu terungkap dalam dialog interaktif “Mas Ganjar Menyapa” di rumah dinas Puri Gedeh, Selasa (1/8). Hadir sebagai narasumber dalam dialog bertajuk “Meretas Kelangkaan Garam” tersebut Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP serta guru besar bidang Sosiologi dan Sejarah Maritim Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Prof Dr Yetti Rohwulaningsih.

“Sepanjang beberapa bulan terakhir kemarau basah. Kalau hari ini yang akan didorong adalah percepatan pendirian pabrik garam, mencari teknologi dan rekayasa-rekayasa agar kita tidak bergantung pada cuaca,” ujar Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP.

Menurut gubernur produktivitas garam rakyat Jateng merupakan nomor dua setelah Jawa Timur, namun belum mampu berkontribusi untuk pemenuhan kebutuhan nasional. Karenanya pemerintah harus segera mengambil langkah atau kebijakan guna mengatasi persoalan tesebut, termasuk menyatukan ABG (akademisi, businessman, dan government). Ketiga komponen itu juga diharapkan dapat bergerak cepat mewujudkan kedaulatan pangan khususnya komoditas garam.

Mantan anggota DPR RI tersebut menyebutkan, pada 2013 produktivitas garam rakyat dari beberapa daerah sentra garam seperti Rembang, Pati, Demak, Jepara, dan Brebes sebanyak 276,5 ribu ton. Kemudian 2014 naik hampir 300 persen atau sekitar 6.600 ribu ton, lalu 2016 menurun drastis, bahkan 2017 sampai Juli hanya berkisar 3.400 ton.

“Untuk mengatasi kelangkaan garam saat ini, tindakan tercepat adalah impor, tapi jangka panjangnya kita melakukan akselerasi. Percepatan pendirian pabrik, kita harus adaptif, kumpulkan para insinyur bisa tidak menerapkan teknologi pengganti sinar matahari,” katanya.

Kendati dampak kelangkaan pasokan tidak terlalu besar terhadap inflasi, imbuh Ganjar, secara sosiologis berpengaruh pada masyarakat serta sektor industri yang membutuhkan garam. Selain itu perlu dilakukan verifikasi lapangan agar tidak berkembang image negatif di masyarakat, terutama menyangkut adanya spekulan dalam kebijakan impor garam.

Senada diungkapkan Prof Dr Yetti Rohwulaningsih, kebutuhan garam nasional terbagi dua kategori yakni konsumsi dan industri. Untuk garam industri masih sepenuhnya bergantung pasokan luar negeri atau impor. Sedangkan persoalan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat saat ini adalah garam konsumsi yang kurang pasokan akibat produksi rendah.

“Tahun 2016 panen kurang bagus sampai kuartal pertama 2017. Memasuki Juli puncak pasokan benar-benar limit, tapi masyarakat tidak perlu panik karena saat ini Jateng sedang masa panen,” katanya.

Namun demikian, saat ini petani garam dapat menikmati keuntungan cukup besar, bahkan lebih tinggi dari harga ideal di tingkat letani yakni Rp 700 per kilogram. Sejak kelangkaan pasokan, harga garam rakyat di tingkat petani Rp 3.400 per kilogram atau naik beberapa kali lipat dari harga sebelumnya Rp 200-300 per kilogram.

“Petani garam saat ini memang sedang senang, karena harga di tingkat petani Rp 4.000 per kilogram. Setelah diolah dijual ke Semarang dan Yogyakarta seharga Rp 4.500 per kilogram, padahal sebelumnya Rp 200-300 per kilogram,” ujar salah seorang petani garam warga Rembang, Pupon.

Sementara itu, Dirjen Kementerian Kelautan dam Perikanan Rifky Effendi menjelaskan, pihaknya telah bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, serta Polri guna mengatasi kelangkaan pasokan garam. Kondisi tersebut terkait produktivitas garam rakyat dalam dua tahun terakhir menurun akibat curah hujan tinggi.

“Upaya manakala produksi hatam tidak mencukupi, maka mau tidak mau mendatangkan dari negara lain, yakni Australia dan India untuk mencukupi kebutuhan garam konsumsi,” katanya.

Berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya mendorong sentra-sentra garam baru termasuk daerah yang berpotensi besar untuk pengolahan garam seperti Nusa Tenggara Timur dan Kupang seluas ratusan hektare. Bahkan di Kupang sekarang mengembangkan lahan tambak garam seluas 400 hektare baik melalui Badan Usaha Milik Daerah maupun badan usaha lainnya agar dapat memenuhi garam secara mandiri dan berkelanjutan.

 

Penulis : Mn, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait