Perempuan Mandiri Tak Berarti Hidup Sendiri

  • 06 Dec
  • bidang ikp
  • No Comments

Semarang – Menyebut perempuan mandiri, bisa jadi ada di antara masyarakat yang beranggapan jika dia sosok yang bisa hidup sendiri. Tidak membutuhkan pendamping atau orang lain.

Tapi tidak menurut Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Tengah Hj Atikoh Ganjar Pranowo. Dalam pandangannya, perempuan mandiri justru wanita yang bisa menentukan sikap. Apakah mereka memilih bekerja atau tidak, bekerja di dalam rumah atau di luar rumah, bisa menghidupi diri sendiri tanpa dipengaruhi orang lain, dapat memenuhi gizinya, dan yang lebih penting, dia memiliki “suara” di keluarganya.

“Jadi, tidak ada korelasinya dengan pernikahan. Emansipasi bukan tidak membutuhkan orang lain. Tapi sinergi dengan suami, anak, dan di keluarga juga mempunyai suara. Biasanya laki-laki yang punya peran, anaknya harus begini-begini. Tapi mulai dari kandungan, si ibu sudah mulai bisa mendidik, lewat musik, membaca Al Quran, hingga memiliki peran dalam menentukan masa depan anak,” bebernya pada dialog “Perempuan Indonesia : Sehat, Mandiri, dan Bebas Kekerasan”, di Studio TVRI Jateng, Selasa (5/12).

Atikoh memandang perempuan harus cerdas, pintar, dan mandiri. Dia mesti mau terus belajar. Dengan begitu, dia tidak disemena-menakan orang lain, dan bisa memberdayakan masyarakat. Bagaimana bisa mengedukasi anak kalau dia sendiri tidak mau berdaya.

“Jadi, perempuan harus pintar. Harus mau belajar, dan belajar itu dari mana pun, bisa dari anak, lingkungan, maupun media sosial. Kita yang memanfaatkan teknologi untuk kita. Bukan dimanfaatkan teknologi,” tegas ibu satu anak ini.

Sebagai Ketua TP PKK, Atikoh pun berupaya membuat perempuan Jawa Tengah dan keluarganya lebih cerdas, pintar, dan mandiri, melalui berbagai kegiatan yang melibatkan seluruh kader sampai level dasa wisma. Seperti, berbagai sosialisasi mengenai kesehatan, gizi yang baik untuk diri dan keluarga, cara mendidik anak, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga bagaimana meningkatkan perekonomian keluarga.

“Kami berusaha mengedukasi bagaimana menekan pengeluaran, dan meningkatkan pendapatan. Bagaimana halaman yang sedikit bisa untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Ditanami sayuran, ada kolam kecil untuk memelihara ikan lele. Melalui UP2K, masyarakat juga diajari keterampilan, berkoperasi, bahkan kami juga bekerja sama dengan Bank Jateng untuk bantuan modal kepada binaan kami yang sebagian besar usaha mikro,” terangnya.

Sekjen Ikatan Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAGIKMI) Ir Suyatno MKes menambahkan perempuan terkadang abai dengan asupan gizi mereka. Akibatnya, masih banyak wanita yang kekurangan gizi. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi, di Jawa Tengah sebanyak 41 persen ibu hamil kekurangan atau defisit gizi (mengonsumsi kurang dari 70 persen kecukupan gizi).

Dia mengingatkan calon ibu agar mengonsumsi makanan dengan kandungan gizi yang cukup saat hamil. Tentunya, dengan kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan sebelum hamil, karena kebutuhan gizi saat hamil meningkat. Sebab, masa kehamilan merupakan posisi rawan. Kekurangan gizi selama kehamilan dapat berisiko pada bayi yang dilahirkan maupun kesehatan ibunya.

“Kebanyakan bapak-bapak juga tidak peduli. Kalau istrinya hamil harus dikasih alokasi khusus untuk peningkatan gizi. Harusnya pada kondisi semacam ini ada perlakuan khusus pada kaum ibu. Orang tua tidak perlu mengurangi makanan. Tetap dijaga gizinya agar tidak cepat menua. (Makan) mutih, ngerowot, itu justru keliru,” terang Suyatno.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dr Tatik Murhayati MKes menambahkan status kesehatan seseorang salah satunya dipengaruhi status gizi.  Jika status gizinya kuat, faktor pengganggu kesehatan dari lingkungan dapat ditekan.

Khusus untuk ibu hamil, imbuhnya, pemerintah melalui instansi di sektor kesehatan sudah memiliki program untuk menunjang gizi ibu hamil dengan memberikan makanan tambahan dan paket lainnya.

“Kalau ibu hamil memenuhi apa yang disampaikan para kader kesehatan atau kader PKK, akan ‘aman’,” kata Tatik.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender & Anak (KPK2BGA) Jawa Tengah Rika Saraswati PhD mengulas mengenai masih banyaknya kekerasan yang menimpa perempuan. Dia juga menyayangkan masih adanya masyarakat yang enggan mengungkap kekerasan yang dialaminya. Bahkan ada yang sudah melaporkan, terus mencabut kembali dengan berbagai alasan. Mulai dari rasa malu, keluarga tidak mendukung, atau setelah melaporkan ke pihak berwenang justu mendapat nasihat, apa tega suaminya masuk penjara, apa tega anak-anaknya memiliki ayah narapidana, atau kadang juga dengan alasan masih cinta.

“Mereka takut, kalau melaporkan (kekerasan yang dialami) orang-orang pada tahu. Kalau jadi janda, imejnya jelek. Kalau cerai, anak-anaknya bagaimana,” ungkapnya.

Diterangkan, pada KDRT ada tiga fase yang dialami. Pertama ketika terjadi pertengkaran, kemudian dilanjutkan dengan kekerasan. Setelah itu, ada fase bulan madu, di mana pasangannya meminta maaf, memberi harapan. Tapi, nanti akan terulang lagi.

“Semacam siklus. Itu yang membuat kita terkadang sulit,” ungkapnya.

Karena itu, pihaknya terus mendorong para wanita agar berani melaporkan ke pihak kepolisian jika mengalami kekerasan. Jangan khawatir mengeluarkan uang untuk visum karena anggaran untuk itu ditanggung pemerintah. Jika penanganan dari pihak kepolisian dinilai kurang baik, bisa melaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Tengah.

“Tetangga juga mesti lebih melindungi dan membantu korban. Karena dalam pasal 15 UU PKDRT, ada kewajiban bagi masyarakat untuk membantu dan mencegah KDRT,” tandas Rika. (Ul, Diskominfo Jateng)

 

Foto : Diskominfo Jateng

Berita Terkait