Pendidikan Berkualitas Butuh Biaya

  • 08 Aug
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang – Alih kewenangan SMA/ SMK dari pemerintah kabupaten/ kota ke pemerintah provinsi sebagai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hingga kini masih menyisakan tanya di masyarakat, mengapa SMA/ SMK tak lagi bisa gratis. Apalagi, mereka yang tinggal di empat kabupaten/ kota yang sebelumnya membebaskan biaya pendidikan SMA/ SMK, yaitu Kota Semarang, Surakarta, Kabupaten Kudus, dan Karanganyar.

Melihat kondisi tersebut, topik “Menakar Biaya Pendidikan di Jawa Tengah” pun menjadi obrolan hangat pada program acara di Studio TVRI, Senin (7/8). Orang nomor satu di Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP selaku host bertanya kepada Dwi Sartata, wali murid SMAN 3 Semarang yang hadir sebagai narasumber.

“Kalau Anda sebagai wali murid, bagaimana menjawab pertanyaan masyarakat, kenapa sih sekolah bayar?” tanya Ganjar sebagai pembawa acara.

Dengan mantap, Dwi menjawab, “Karena tidak ada yang gratis, Pak”.

Pria paruh baya itu tidak keberatan apabila orang tua siswa yang bersekolah di bangku SMA/ SMK harus membayar biaya pendidikan sang anak. Dia juga percaya dengan pihak sekolah. “Yang penting kualitas pendidikan bagus untuk anak dan anak-anak dididik dengan baik,”tambahnya.

Dwi mencontohkan, dia justru merasa terbantu karena pihak sekolah menyediakan kebutuhan seragam di koperasi, meski pihak sekolah tidak mewajibkan wali murid membeli di sana.

“Lebih senang kalau beli di koperasi karena tidak repot. Kalau beli di luar koperasi khawatir seragam itu beda,” jelasnya.

Alih kewenangan SMA/ SMK ke pemerintah provinsi juga menuntut peran aktif komite sekolah untuk menyosialisasikan rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS) kepada wali murid. Kepala SMAN 3 Semarang Drs Wiharto MPd  sebagai narasumber menerangkan, hingga Juli lalu pihak sekolah sudah mengundang wali murid secara resmi untuk mengikuti rapat komite sekolah. Melalui kesempatan tersebut, wali murid mendapat penjelasan alih kewenangan SMA/ SMK di bawah pengelolaan pemerintah provinsi berlaku secara nasional. Wali murid juga memeroleh pemahaman tentang RKAS.

“Tahun ini saja meski bulan ketujuh kita sudah mengundang orang tua siswa dua kali. Kita sosialisasikan mulai dari perpindahan SMA/ SMK sesuai UU Nomor 23/2014 ke pemerintah provinsi bahwa itu terjadi di seluruh Indonesia. Kita sampaikan juga program-program sekolah, sekaligus kegiatan sekolah dan anggaran. Komite menyampaikan, di sekolah itu orang tua harus ada peran serta agar putera-puteri pendidikannya berkualitas. Alhamdulillah orang tua siswa di SMAN 3 bisa memahami itu dengan baik,” terangnya.

Ganjar kemudian bertanya kepada Wiharto, kebutuhan sekolah apa yang memerlukan biaya tinggi namun tidak ter-cover oleh negara.

“Langganan listrik itu untuk satu tahun kita bisa mencapai Rp 0,5 miliar. Kalau itu dibebankan ke BOS semua itu tidak muat karena kegiatan anak-anak akan terpotong,” beber Wiharto.

Ganjar juga melontarkan pertanyaan serupa kepada Kepala SMAN 1 Semarang Dra Endang Suyatmi L MPd. Endang menjelaskan jika biaya pengiriman siswa untuk mengikuti lomba internasional yang tidak bisa dipenuhi dari anggaran sekolah.

“Solusinya kita undang orang tua siswa lagi, kita bicarakan sebaiknya bagaimana. Kami juga ada 27 ekskul yang harus dibiayai. Kami tiap bulan harus meng-cover biaya untuk membayar gaji PTT dan GTT yang nonlinier dan tidak 24 jam serta outsourcing satpam. Itu tiap bulan kami sampai Rp 84 juta,” beber Endang.

Menanggapi penjelasan wali murid dan kepala sekolah, Rektor Unnes Prof Dr Fathur Rokhman MHum sebagai pengamat pendidikan menerangkan, kesadaran pendidikan adalah tanggung jawab bersama harus ditanamkan dalam diri setiap orang. Masyarakat perlu menunjukkan peran sertanya dalam mendukung pendidikan yang berkualitas. Bagaimana pun, pendidikan berkualitas memerlukan berbagai biaya karena tidak semua bisa ter-cover oleh keuangan negara.

“Bermutu itu tentu harus ada pembiayaan. Betul, tidak ada pendidikan gratis. Sejak dulu kami melakukan riset dengan Balitbang, dengan Dikbud, memang tidak ada konsep sekolah gratis. Itu konsep yang keliru dan justru bisa menjadi wacana yang disalahtafsirkan. Itu bahasa politis,” tegasnya.

Fathur menerangkan, komponen pendidikan terdiri atas man, money, material, dan curriculum. Pendidikan yang berkualitas idealnya memenuhi komponen-komponen tersebut.

“Kalau kita melihat komponen pendidikan itu sebenarnya ada man, money, material, dan curriculum. Kalau ada peningkatan mutu artinya SDM-nya harus bagus, pembiayaannya harus bisa mencukupi biaya operasional dan investasi, materialnya juga harus diperhatikan. Kalau sekolah kurikulumnya bagus, tapi sekolahnya rusak, gurunya kurang berkualitas, kemudian tidak ada dana, itu persoalan sekali,” tegasnya.

 

Penulis : Ar, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

 

Berita Terkait