Pamerkan Perjalanan Budaya Indonesia

  • 14 Jul
  • bidang ikp
  • No Comments

Semarang – Dua lantai di Semarang Contemperary Art Gallery, seolah ingin menceritakan kehidupan peranakan Tionghoa di tanah air. Memasuki ruangan pamer, gamelan buatan abad ke XIX dengan ukiran kayu bergaya Jawa, Eropa dan Tiongkok siap menyambut para pengunjung.

Menuju ke kanan pintu dan kiri pintu, pengunjung diajak melihat foto masa lalu yang beberapa diantaranya diabadikan pada 1870 dan 1913. Pada satu sudut ruang pamer, terdapat meja dan kursi yang terbuat dari bahan kayu swanci atau dikenal dengan kayu hitam. Di kanan kirinya, dipercantik dengan guci kuno dan terdapat pula paiodon atau tempat untuk meludah saat menyirih.

Naik di lantai dua, benda-benda yang dipamerkan sebagian besar masih akrab dengan kehidupan keluarga Indonesia saat ini. Misalnya kebaya encim dengan perpaduan bordir yang indah, batik dengan motif klasik khas budaya Tionghoa, dan baju tradisional cheongsam yang hingga kini masih dikenakan, terutama pada upacara keagamaan.

Selain itu, furnitur yang menjadi perlengkapan kamar tidur pun dipamerkan secara detail. Ada ranjang berukir banji, tempat membasuh muka, kotak bersusun untuk menyimpan jamu dan obat-obatan, laci pakaian, tempat lilin, tempat sampiran kain dan meletakkan sandal, lemari parfum dan lemari untuk menyimpan batik.

Pameran Benda-benda Koleksi Peranakan Indonesia yang berbarengan dengan Peluncuran Edisi Ketiga Buku Peranakan Tionghoa Indonesia “Sebuah Perjalanan Budaya” itu, dibuka Gubernur JawaTengah H Ganjar Pranowo SH MIP, Jumat (13/7) malam.

Owner Semarang Contemperary Art Gallery, Chris Darmawan menyambut penyelenggaraan pameran di galerinya dengan suka cita. Sebab, pameran benda-benda koleksi peranakan Indonesia menurutnya masih sangat langka. Pameren semacam itu juga baru kali pertama diselenggarakan di Semarang.

“Kalau kita mengingat benda-benda peranakan itu konotasinya selalu dengan masa lalu. Tapi sebetulnya budaya peranakan sangat lekat dan familiar dengan kehidupan kita saat ini. Baik melalui makanan, bahasa, pakaian dan sebagainya. Sebagai contoh, saya senang ibu-ibu memakai kebaya encim. Sepertinya tidak asing, tapi jarang kita lihat,” ungkap dia.

Chris berharap pameran yang diselenggarakan itu bisa menjadi contoh bagi komunitas lain, untuk memasyarakatkan sejarah dan budaya Indonesia.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyambung, dalam pameran tersebut, dia menangkap literasi sejarah peranakan di Indonesia. Baik dari segi kontribusi, salah satunya adalah perdagangan, dari segi produk, maupun seni budaya. Sehingga, membuat orang mengetahuinya dan semakin bisa menunjukkan sejarah mereka di Indonesia.

“Sebenarnya pelajaran yang diambil adalah makin meyakinkan Bhinneka Tunggal Ika itu ya seperti ini. Yang penting tidak rasis, dan sekarang membangun bersama-sama, memiliki sebagai ‘Kami Indonesia”,” tuturnya.

Saat disinggung benda apa yang paling menarik perhatiannya, Ganjar mengaku tertarik dengan gamelan. Sebab, desainnya merupakan akulturasi Jawa, Eropa dan Tiongkok. Di samping itu instrumennya tidak murni Jawa, tapi Cina.

“Maka sebenarnya perkawinan adat, budaya dan orang sudah berlangsung lama. Ini jadi satu artefak sejarah yang bisa dilihat di sini,” kata ayah satu anak itu.

Penulis : Rt, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait