Nyerat Geguritan, Nguripi Budaya Jawa

  • 02 Sep
  • bidang ikp
  • No Comments

Abange getihku tandha labuh yektiku,

Wani mbelani nglabuhi prajaku,

Tembe buri turunku isih nganti-anti,

Isih bakal marisi negara iki.”

 

PUISI bahasa Jawa berjudul “Makantar-kantar” karya Mas Bey Priyono itu dibacakan setiap peserta Lomba Maos lan Nyerat Geguritan Trophy Gubernur Jawa Tengah 2018 dengan penuh penghayatan di Halaman Kantor Gubernur, Sabtu (1/9). Suara mereka lantang, semangatnya pun menggebu-gebu.

Pelajar SMA/ SMK dari berbagai penjuru Jawa Tengah itu juga tampil totalitas mengenakan busana adat. Ada yang mengenakan kebaya dipadu jarik, lurik dan blangkon, serta ada pula yang berseragam. Sembari menunggu waktu tampil, mereka tampak semangat berlatih dengan guru pendamping.

Linda Rumpoko, siswi SMAN 1 Sapuran Wonosobo yang mengikuti lomba tersebut menuturkan, setiap hari sepulang sekolah dia berupaya latihan agar dapat mementaskan penampilan terbaiknya di hadapan para juri dan hadirin.

“Biasanya sepulang sekolah latihan sambil membaca (geguritan) satu hingga tiga kali didampingi oleh guru saya. Karena kita sehari-hari menggunakan bahasa Jawa, jadi tidak ada kesulitan,” ujarnya.

Linda menuturkan, partisipasinya mengikuti lomba geguritan merupakan upaya nyata yang dilakukan sebagai generasi muda, untuk melestarikan budaya Jawa.

“Anak muda zaman sekarang sudah semestinya nguri-uri budaya Jawa. Bagaimana budaya Jawa itu akan berkembang kalau generasi mudanya tidak ikut serta kegiatan seperti ini,” tegasnya.

Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Dr Ir Sri Puryono KS MP merasa senang karena lomba menulis dan membaca geguritan diminati kaum muda. Hal itu menunjukkan tingginya semangat generasi muda untuk melestarikan budaya Jawa. Karena banyaknya peminat, Sri Puryono ingin lomba geguritan tersebut dapat menjadi agenda tahunan.

“Kami dengan PWI melaksanakan lomba geguritan, ternyata pesertanya membludak. Yang menulis atau nyerat sekitar 170-an (orang), sedangkan yang membaca atau maos geguritan ada sekitar kurang lebih 70 (orang). Artinya, minat untuk membangkitkan kembali seni dan budaya adiluhung asli Jawa Tengah masih tinggi. Budaya Jawa yang hampir punah ini harus kita uri-uri dan kita uripi,” ujarnya sembari tersenyum.

Ketua Umum Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jateng itu juga bahagia ketika geguritan yang ditulisnya pada 28 Oktober lalu dibacakan penuh penjiwaan oleh para peserta. Geguritan berjudul “Makantar-kantar” itu menceritakan tentang peran pemuda demi tegaknya NKRI.

“Makantar-kantar saya tulis pada tanggal 28 Oktober 2017 bertepatan dengan sumpah pemuda. Geguritan itu menceritakan peran pemuda yang saat masa kecilnya merasa masa bodoh, tetapi begitu dia dewasa merasa terpanggil bahwa jejeg-nya negara bergantung pada peran pemuda. Ada yang penjiwaannya betul-betul menyentuh hati saya,” pungkasnya.

Penulis : Ar, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait