Masifkan “Jo Kawin Bocah”, Wujudkan Nikah “Sehati”

  • 01 Jul
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Pendewasaan usia pernikahan dapat berdampak pada berbagai aspek, termasuk penurunan stunting. Untuk itu, pada momen Hari Keluarga Nasional XXVIII dan Hari Anak Nasional Tahun 2021, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah semakin masif menggerakkan Jo Kawin Bocah.
Hal itu mengemuka dalam talkshow berjudul Ketahanan Keluarga untuk Meningkatkan Pendewasaan Usia Perkawinan Melalui Gerakan Jo Kawin Bocah dan Penurunan Stunting,.yang berlangsung melalui virtual, Kamis (1/7/2021). Hadir dalam talkshow tersebut, Wakil Ketua I Tim PKK Jateng Nawal Nur Arafah Yasin, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jateng Retno Sudewi, Kepala Biro Kesra Jateng Imam Maskur, Kepala Perwakilan BKKBN Jateng Widwiono, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKBPPPA) Wonosobo Dyah Retno S, dan Wakil Rektor I Universitas Sains Alquran (Unsiq) Wonosobo Z Sukawi.
Wakil Ketua I TP PKK Jateng Nawal Arafah mengatakan, secara nasional, selama pandemi pernikahan anak meningkat. Bahkan, tercatat 34 ribu permohonan dispensasi nikah, yang 97 persennya terpaksa dikabulkan (sumber : katadata.go.id).
Ditambahkan, kondisi tersebut dipengaruhi beberapa hal. Di antaranya, kondisi putus sekolah karena ada pandangan tidak usah meneruskan sekolah, lebih baik menikah saja. Kondisi ekonomi kemiskinan juga berpengaruh, sehingga daripada anak tidak ada yang menanggung hidupnya, lebih baik dinikahkan agar ada suami yang menanggung. Faktor lainnya, kurangnya akses pelayanan reproduksi yang membuat dampak negatif pernikahan anak belum tersampaikan dengan baik.
Nawal mengungkapkan, pernikahan usia anak bisa mengakibatkan dampak buruk. Seperti, risiko kematian ibu, bayi dan balita, sert kasus stunting yang lebih tinggi, karena belum siapnya organ reproduksi dan psikis anak. Pernikahan anak juga mengakibatkan anak putus sekolah, risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga ancaman kemiskinan baru.
“Anak-anak berpendidikan rendah tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, untuk mendapatkan pekerjaan atau penghasilan yang layak. Mereka bergantung pada orang tua,  sementara orang tuanya bukan orang berada. Sehingga anak yang menjadi orang tua berisiko tidak bisa memenuhi kebutuhan dan layanan, seperti pendidikan dan kesehatan,” beber Nawal.
Untuk itu, pihaknya bersama jajaran TP PKK hingga tingkat desa dan seluruh kader, terus berupaya menekan pernikahan anak melalui Jo Kawin Bocah. Banyak kegiatan yang dilakukan. Tidak hanya melalui pola asuh anak yang penuh cinta dan kasih sayang yang terus digerakkan Pokja I, tapi juga meningkatkan pendidikan dan ketrampilan keluarga melalui kegiatan yang diampu Pokja II. Dengan begitu, diharapkan masyarakat bisa memberdayakan potensi yang ada di wilayahnya
Di Pokja IV, lanjut Nawal, masyarakat diajak mewujudkan keluarga yang sehat, keluarga kecil bahagia dan sejahtera dengan melaksanakan program KB agar tercapai generasi yang sehat, cerdas dan tangguh, serta mencegah stunti­ng. Sehingga program ini mampu mengatasi perkawinan anak.
Kepala DP3AP2KB Jateng Retno Sudewi mengatakan, pencegahan perkawinan anak melalui gerakan Jo Kawin Bocah adalah upaya pemerintah bersama lima unsur terkait atau pentahelix, meliputi pemerintah, akademisi, dunia usaha, media massa dan komunitas. Sehingga nantinya akan terwujud Nikah Sehati, yaitu sehat, terencana dan mandiri.
“Harus sehat, harus bisa merencanakan, bisa mandiri. Itu hastag kami,” sebutnya.
Kepala Perwakilan BKKBN Jateng Widwiono menuturkan, langkah pemerintah provinsi menggencarkan gerakan Jo Kawin Bocah patut mendapatkan apresiasi.
“Bagus ada gerakan Jo Kawin Bocah,” kata Widwiono.
Sementara untuk upaya penurunan stunting, pihaknya menyinggung hal tersebut sebagai langkah penting memajukan generasi ke depan. Sebab, negara lain juga telah menggenjot upaya penurunan masalah stunting di masing-masing wilayahnya.
Kepala Dinas PPKBPPPA Wonosobo Dyah Retno S mencontohkan, wilayahnya masuk sebagai salah satu daerah di Jateng yang menyumbangkan kasus perkawinan anak. Seperti pada 2018 terdapat 2.109 kasus, 2019 ada 2.018, dan pada 2020 mencapai 968 kasus.
“Dari 15 kecamatan, dua kecamatan terbanyak kasus perkawinan anaknya. Pertama, Mojotengah. Kedua, Watumalang,” tuturnya.
Untuk itu, pihaknya berupaya mengurangi pernikahan anak dengan mengedepankan strategi kolaborasi bersama berbagai pihak. Seperti kolaborasi dengan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), TP PKK kabupaten, kecamatan, desa dan kelurahan, kolaborasi dengan Unsiq, organisasi masyarakat, Pengadilan Agama dan Kemenag, serta masyarakat.
 “Kunci kami, Wonosobo adalah kolaborasi,” sebutnya.
Wakil Rektor I Unsiq Wonosobo Z Sukawi menambahkan, pihak kampus juga turut mendukung upaya pencegahan perkawinan anak. Di antaranya dengan memaksimalkan mahasiswanya terlibat dalam kegiatan kemanusiaan, termasuk pencegahan perkawinan anak.
“Pendampingan oleh mahasiswa juga terus dilakukan dalam mencegah perkawinan anak,” katanya. (Ak/Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait