Kemiskinan Bukan Hanya Tanggung Jawab Gubernur

  • 23 Aug
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang – Belum drastisnya penurunan angka kemiskinan di Jawa Tengah, tidak semata-mata “kegagalan” gubernur selaku kepala daerah. Namun juga menjadi tanggung jawab bersama semua pihak, termasuk bupati/ wali kota, akademisi, LSM, maupun masyarakat. 

Pemerhati masalah kemiskinan dari Unika Soegijapranata Shandy Jannifer Matitaputty SE MSi menegaskan, kemiskinan merupakan persoalan multidimensi yang tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja, yakni pemerintah. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota, akademisi, LSM, dan masyarakat.

Bahkan, imbuh dia, pada kasus-kasus tertentu, terdapat kelompok-kelompok masyarakat miskin dimana mereka sangat sulit menerima aparatatau pegawai pemerintah karena ketidakpercayaan yang terlanjur terbangun, sekalipun aparat atau pegawai pemerintah itu berasal dari kelompok, suku, wilayah mereka sendiri.

“Ada masyarakat yang hanya bisa mendengarkan sesepuh di lingkungan mereka. Ada masyarakat miskin yang justru lebih percaya dengan orang luar daerah mereka yang tidak terkait dengan pemerintah, karena orang tersebut dipandang unik atau berbeda, sehingga muncul ketertarikan untuk mengetahui nilai-nilai yang dibawa oleh orang, sekelompok orang, atau lembaga luar yang datang kepada mereka,” bebernya saat diwawancarai Rabu (23/8).

Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu, peran pendidik termasuk orang tua, baik secara formal maupun informal juga sangat dibutuhkan, mengingat persoalan kemiskinan seringkali tidak sekadar terkait dengan ketidakmampuan seseorang atau sekelompok masyarakat dalam menghadapi situasi, khususnya ekonomi yang sedang terjadi. Persoalan kemiskinan seringkali juga terkait dengan pola pikir ataupun cara pandang tentang hari depan, motivasi, komitmen terhadap nilai-nilai kerja, pernikahan, tanggung jawab pribadi, cita-cita, dan sebagainya.

Shandy menyebut kemiskinan bak lingkaran setan. Untuk bisa keluar dari kemiskinan, masyarakat mesti memiliki pendidikan dan kesehatan yang baik. Sehingga mereka dapat lebih produktif dan maju, penghasilan pun bertambah. Tapi di sisi lain, jika tidak memiliki kemampuan ekonomi, mereka pun kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan dengan baik.

Dia pun mengapresiasi upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam memutus mata rantai kemiskinan. Seperti, memfasilitasi pendidikan anak kurang mampu melalui SMK Negeri Jawa Tengah, di mana siswanya tidak dikenakan biaya apa pun. Selain itu, ada pula layanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu, dan pemberdayaan UMKM melalui kredit murah atau program lainnya.

Namun, Shandy berharap berbagai program yang dilakukan disesuaikan dengan potensi daerah melalui kajian kebutuhan daerah. Jadi, tidak bisa dipukul rata antara daerah yang satu dengan lainnya. Tentunya, peran bupati/ wali kota sangat menentukan mengingat merekalah yang lebih mengerti potensi dan kebutuhan daerahnya. Termasuk, pemetaan warga miskin di masing-masing wilayah.

“Perumusan strategi yang holistik namun tetap mengakomodir ciri/ kekhasan kondisi dari masing-masing karakteristik daerah atau kelompok masyarakat miskin menjadi sangat penting. Daerah atau kelompok masyarakat yang dimaksud di sini bukan sekadar pembagian ke dalam kelompok pedesaan dan perkotaan seperti yang telah ada, namun terkait juga dengan suku, asal, yang sangat mempengaruhi filosofi dan kebiasaan hidup mereka,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Dr Ir Sri Puryono KS MP menyampaikan berdasarkan data BPS jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah pada Maret 2017 sebesar 4,45 juta orang (13,01 persen). Jika dibandingkan  dengan  jumlah  penduduk  miskin  pada September 2016, selama enam bulan tersebut  terjadi penurunan jumlah  penduduk miskin sebesar 43,03 ribu orang. Sementara apabila dibandingkan dengan Maret 2016 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebanyak 56,17 ribu orang dari total 4,50 juta orang (13,27 persen).

Pemerintah provinsi pun terus berupaya keras mempercepat penurunan kemiskinan. Infrastruktur menjadi prioritas yang harus ditangani sejak awal kepemimpinan Gubernur Ganjar Pranowo. Sebab, dengan infrastruktur yang baik, akses perekonomian, pendidikan, kesehatan, dan lainnya juga semakin baik. Dengan begitu diharapkan dapat menjadi salah satu bagian memutus mata rantai kemiskinan.

Di sektor pendidikan, program sekolah gratis untuk siswa miskin melalui SMK Negeri Jawa Tengah yang saat ini sudah dikembangkan di tiga lokasi, yakni Semarang, Purbalingga, dan Pati, menjadi solusi memutus kemiskinan. Terbukti, dari siswa yang lulus, 70 persennya sudah diterima bekerja. Sisanya, ada yang meneruskan pendidikan tinggi dengan beasiswa.

Di bidang ekonomi kerakyatan, sejumlah kegiatan pemberdayaan UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja nonformal, terus dilakukan. Mulai dari pelatihan-pelatihan, pendampingan, hingga pemberian kredit dengan bunga rendah. Bahkan bunga tujuh persen per tahun dari Bank Jateng merupakan yang terendah. Pinjaman itu pun tanpa agunan dan tanpa biaya administrasi.

Pemerintah juga terus mendorong kerja sama dengan industri, khususnya industri padat karya dengan mempermudah perizinan. Bahkan, beberapa waktu lalu, di stand PRPP, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah melayani perizinan pabrik gula baru dengan nilai investasi Rp 1,3 triliun dalam waktu tidak lebih dari tiga jam. Kerja sama dengan industri juga didorong di SMK-SMK, baik negeri maupun swasta, sehingga dapat menekan angka pengangguran setelah lulus.

Peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga menjadi prioritas perhatian gubernur, baik upaya preventif, promotif, maupun kuratif. Sebab dengan pelayanan kesehatan yang baik, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Hasilnya, AKI dan AKB dapat diturunkan. Pada 2016, AKI sebesar 109,65 persen dan AKB sebesar 9,99 persen. Prevalensi gizi buruk pada 2016 sebesar 0,03 persen. Untuk penerima Jamkesmas sebesar 89,81 persen dan Jamkesda sebesar 10,19 persen.

Untuk bidang pertanian, pemerintah provinsi telah melaksanakan program Kartu Tani. Pada 2015, kartu tani diberikan di Kabupaten Batang untuk 15 kecamatan, 242 desa/ kelurahan, 231 Gapoktan, 865 Poktan, 54.282 petani. Pada kartu tani dibagikan di 21 kabupaten/ kota, 342 kecamatan, 4.764 desa/ kelurahan, 26.164 kelompok tani, 1.539.000 petani . Sedang pada 2017, kartu tani diberikan kepada 13 kabupaten, 216 kecamatan, 3.171 desa/ kelurahan, 3.044 Gapoktan, 16.307 Poktan.

“Masih banyak program lainnya, seperti rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH), peningkatan akses air minum dan sanitasi, penguatan peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), memfasilitasi pemasaran online untuk para pelaku UMKM, membangun SiHaTi (Sistem Informasi Harga dan Produk Komoditi), dan lain-lain. Artinya, pemerintah memiliki komitmen kuat untuk menurunkan kemiskinan. Tapi sekali lagi, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Butuh kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat,” tandasnya. (Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait