Ini Uji Nyali

  • 05 Sep
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang – Carut marutnya pemerintahan Kota Tegal di bawah kepemimpinan wali kota Hj Siti Masitha yang berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) KPK membuktikan jika upaya penegakan sistem berintegritas menuju pemerintahan yang bersih dan transparan, menjadi tantangan nyata reformasi birokrasi saat ini. Seperti sinyalemen arogansi kepala daerah menon-job-kan sejumlah ASN karena mengritisi kepemimpinannya.

Fakta tersebut dibenarkan oleh Khaerul Huda, Kepala Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan Kota Tegal yang dinon-job-kan oleh Siti Masitha. Khaerul membeberkan, sejak awal dia dan teman-teman sejawatnya merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan wali kota karena baru sehari menjabat sudah mengganti pelaksana tugas sekretaris daerah secara sewenang-wenang.

“Seminggu kemudian (wali kota) memanggil BKD untuk menon-job-kan sembilan orang PNS. Mulai dari eselon I sampai eselon II yang staf bagian humas. Itu membuat kami semakin yakin bahwa kami harus menghadapi beliau. Tetapi kira-kira apakah kami mampu atau tidak melakukan itu?” bebernya kepada narasumber dan pendengar dialog interaktif Mas Ganjar Menyapa di Rumah Dinas Puri Gedeh, Selasa (5/9).

Khaerul menyayangkan, ada pihak di luar struktural birokrasi yang turut memengaruhi jalannya pemerintahan Kota Tegal. Dia berharap OTT KPK menjadi langkah awal untuk benar-benar mereformasi birokrasi Pemkot Tegal agar menjadi pemerintahan yang bersih dan transparan.

“Pemerintahan sekarang menurut kami perlu dibenahi secara besar-besaran. Apabila bisa terealisasi, menjadi jalan menuju pemerintahan yang benar dan bersih dan ke depan pola karir bagi PNS lebih terjamin. Mereka yang berkarir baik, bisa memeroleh kesempatan untuk promosi. Yang terpenting lagi, para PNS bisa mandiri, tidak tertekan oleh kepemimpinan kepala daerah yang ada. Sehingga kami bisa bekerja objektif dan mandiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” harapnya.

Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP menilai keberanian ASN Pemkot Tegal untuk mengkritisi kepemimpinan kepala daerahnya sebagai wujud “pemberontakan” yang positif. Artinya, ASN Pemkot Tegal memiliki komitmen kuat untuk menerapkan pemerintahan yang bersih dan transparan.

“Saya rasa pengalaman Pemkot Tegal ini adalah pengalaman ‘pemberontakan’ yang bagus karena kita berusaha merevolusi,” tuturnya.

Mantan anggota DPR RI itu menjelaskan, pemerintahan yang bersih dan transparan harus dirintis dari sistem birokrasi yang menjunjung integritas. Dia mencontohkan, Pemprov Jateng sudah mulai menerapkan sistem tersebut dengan mewajibkan kepala daerah dan ASN eselon I sampai eselon IV untuk melaporkan LHKPN, membentuk komite integritas, memberikan teladan dari para pimpinan, hingga mengembangkan whistle blower system. Melalui komite integritas, ASN ditantang untuk menolak gratifikasi dan anti korupsi. Apabila mereka terbukti menerima suap atau melakukan korupsi, maka mereka harus siap meninggalkan jabatan yang diemban selama ini.

“Kita mencoba membuat komite integritas di provinsi ini dengan suatu harapan kejadian seperti ini, satu saja beliau lapor saya, atau staf lapor ke saya, tidak saya non-job-kan. Oh ternyata kamu nyogok toh saya pecat. Ini sistem yang kita coba di provinsi. Maka teman-teman di provinsi ada check and balance di antara mereka sendiri,” bebernya.

Tak hanya membentuk komite integritas, pihaknya mendorong agar kepala daerah ataupun pemimpin OPD mampu memberikan teladan bagi pegawainya untuk menegakkan integritas.

Top leader seperti Wali Kota Solo dan Bupati Banyumas ini contoh yang baik karena komitmen top leader bisa membuat stafnya nyaman. Tidur nyenyak tanpa memikirkan setoran untuk pimpinan,” contohnya.

Alumnus UGM itu juga berupaya melindungi whistle blower yang berani memberikan keterangan akurat tentang penyelewengan-penyelewengan di dalam pemerintahan. Keterangan itu diperlukan untuk segera memperbaiki birokrasi yang tengah berjalan.

“Kalau ada yang minta-minta tolong dilaporkan ke saya. Ini soal uji nyali, uji keberanian. Ketika kemudian sistem ini di level bawah mereka berani (melaporkan), maka pada saat itu sistem kontrolnya akan berjalan. Maka kita perlu empowering agar teman-teman ini berani dan ini harus kita dorong,” tegasnya.

Pengamat politik dan pemerintahan FISIP UNDIP, Teguh Yuwono sependapat dengan gubernur. Menurutnya, perlindungan terhadap whistle blower penting untuk mereformasi birokrasi pemerintahan mendatang.

“Perlindungan ini penting karena whistle blower system ini biasanya efektif kalau top leader-nya sudah ditangkap. Tetapi kalau top leader-nya masih incumbent biasanya staf itu powerless,” pungkasnya.

 

Penulis : Ar, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

 

Berita Terkait