Heru Kecil, Rela “Dlosoran” untuk Dengarkan Wayang Kulit

  • 05 May
  • bidang ikp
  • No Comments

Purbalingga – Secarik kertas putih dibuka Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Jawa Tengah Drs H Heru Sudjatmoko MSi. Kertas itu lantas dibaca beberapa saat. Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Dr Ir Sri Puryono KS MP juga turut membacanya.

Kertas itu ternyata berisi bait tembang caping gunung. Ya, Plt Gubernur yang selama ini tak pernah memperdengarkan suaranya untuk nembang, pada kegiatan pagelaran wayang kulit dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional, Jumat (4/5) di pendapa rumahnya, seolah memberi hadiah lewat suaranya. Berduet dengan sekda, diiringi dengan karawitan, bait demi bait caping gunung ciptaan almarhum Gesang ditembangkan.

Dhek jaman berjuang
Njuk kelingan anak lanang
Biyen tak openi
Ning saiki ana ngendi

Jarene wis menang
Keturutan sing digadang
Biyen ninggal janji
Ning saiki apa lali

Ning gunung
Tak jadongi sega jagung
Yen mendung
Tak silihi caping gunung

Sukur bisa nyawang
Gunung desa dadi reja
Dene ora ilang
Gone padha lara lapa

Memang tak selalu pas dengan karawitan yang mengiringinya. Namun, suara Heru justru lebih terdengar merdu dalam membawakan tembang yang memiliki pesan sarat moral tersebut.

Tak hanya nembang, Heru juga membocorkan masa kecilnya yang sangat menyukai wayang kulit. Demi mendengarkan siaran wayang kulit di radio setiap malam minggu, dia ke rumah tetangganya yang terkaya.

“Ketika saya masih muda belia, masih remaja, SMP, saking senangnya wayang, walaupun tidak ada pagelaran wayang, saya setiap malam minggu itu mendengarkan siaran wayang lewat radio. Kalau tidak RRI Yogya, RRI Surakarta, atau RRI Semarang,” ungkapnya.

Saking senangnya dengan wayang kulit, Heru pun hafal dalang-dalang yang tengah hits. Dalang paling tenar kala itu adalah Ki Narto Sabdo, Ki Sugito dari Bantul dan Panut Harmoko dari Nganjuk. Karena hanya tahu lewat radio, Heru tidak mengetahui wajahnya.

Nggak tanggung-tanggung, dengarnya tidak di rumah sendiri. Jadi di desa saya, Desa Kedunglegok, Kecamatan Kemangkon, ada orang kaya. Waktu itu mungkin satu-satunya yang punya radio. Jadi kalau malam minggu, sore kumpul bermain. Tapi kalau sudah malam, teman-teman saya sudah pada pulang. Saya nggak pulang. Saya mbrobos di bawah meja, yang digelari tikar. Saya ndlosor mendengarkan wayang kulit. Bisa semalam nggak tidur,” beber mantan Bupati Purbalingga ini.

Jika ada pagelaran wayang kulit, dia pasti menonton, walaupun diselenggarakan tidak pada malam minggu. Akibatnya, dia tidak bisa bangun pagi untuk berangkat sekolah dan akhirnya membolos.

“Kalau saya tidak masuk sekolah, berarti malam harinya ada wayang. Pagi-pagi mau bangun sulit banget. Tapi saya punya bapak, yang saya ya nggak bisa meniru karena nggak pernah memarahi. Nggak masuk sekolah satu hari sering nggak ditanya apa-apa. Tapi kalau dua hari berturut-turut, bapak baru nanya, meriang apa dene ora mangkat,” ungkapnya seraya tertawa.

Heru kemudian berpesan, agar generasi muda tak menirunya saat membolos sekolah. Yang perlu dicatat dan ditiru adalah pesan moral yang disampaikan dalam setiap pagelaran wayang.

Seperti pertunjukkan wayang kulit yang diselenggarakan di pendapa rumahnya, yang mengambil lakon Bima Ngaji dengan dalang Ki Sigid Ariyanto SSn. Dikisahkan, Bima muda yang berguru pada Pendeta Durna. Padahal, Durna dikenal bukan guru yang baik. Karena keteguhannya berguru kepada Pendeta Durna, Bima pun sempat dijauhi teman-temannya.

“Walaupun ditolak kawan-kawannya bahkan sudah diingatkan kurang lebih, kok kamu nurut gitu aja, tapi Bima tetap istiqamah karena punya keyakinan,seorang guru tidak mungkin akan menjerumuskan muridnya,” tuturnya.

Ternyata keteguhan dan ketaatan Bima benar-benar mendapat hikmah. Dia menjadi seorang satria yang sakti, yang kuat jiwanya, kuat badannya, dan punya filosofi yang sangat hebat yang didapat dari gurunya, Pendeta Durna.

Penulis : Rt, Humas Jateng

Editor: Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait