Di Undip, Ganjar Beberkan Rahasia Jateng Sebagai Bentengnya Pancasila

  • 15 May
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Dikenal sebagai bentengnya Pancasila, Jawa Tengah ternyata memiliki rahasia dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Bahkan, tokoh agamanya pun sangat patriotik ketika membincangkan demokrasi.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengungkapkan, disebut sebagai Benteng Pancasila karena masyarakat Jateng mampu menjalani keberagaman hidup dengan ketenteraman. Kunci kehidupan bermasyarakat seperti itu karena para tokohnya sepakat mengamalkan sekaligus mengajarkan persaudaraan.

Alhamdulillah aman dan semua tokoh agama tokoh masyarakat bisa berkumpul dan menerima, asyik-asyik saja kita ngobrol. Kemudian jika ada satu persoalan, kita keroyok dengan keterlibatan mereka. Itulah yang membuat Jawa Tengah adem,” kata Ganjar, usai menjadi Keynote Speaker Seminar Peningkatan Pemahaman Wawasan Kebangsaan, Deradikasasi Paham Keagamaan, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Semarang, Selasa (14/5/2019).

Hadir dalam kesempatan itu, Pengasuh Pondok Pesantren Giri Kusumo Mranggen Demak KH Munif Zuhri, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, rektor dari beberapa universitas, para kiai dan romo di Jateng, serta sejumlah politisi.

Pada kesempatan itu, para tokoh membincangkan disertasi KH Adnan, mantan Ketua PWNU Jateng yang membahas Deradikalisasi Paham Keagamaan. Setelah Ganjar dan Emil memberikan keynote speech, serta KH Munif Zuhri menyampaikan petuah relasi agama dan kebangsaan, berlanjut ke Prof Muhibbin, Prof Yos Johan Utama, Prof Mujahirin Thohir dan Dr Adnan membeberkan topik pembahasan.

Ganjar menambahkan, semua yang hadir sudah sepakat agar ada gerakan deradikalisasi. Kemudian konflik keagamaan bisa dikurangi dan hubungan sosial kemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila secara kultural bisa terjaga.

“Dan nilai itu menjadi penting untuk kita ajarkan,” kata mantan anggota DPR RI ini.

Gubernur kemudian menyinggung soal adanya gerakan yang ingin mengubah dasar negara serta gerakan yang menolak hasil pemilu. Menurutnya, gerakan itu tidak relevan, meskipun ada yang meneriakkan perpecahan antar anak bangsa.

“Relasi manusia? Ya harus baik-baik. Kalau dalam konteks kontestasi, menang kalah ya biasa, harus diterima. Lha itu kan konsekuensi satu sistem. Jangan kemudian kita membicarakan itu ketika pelaksanaan, kalau mau berdebat saat penyusunan,” paparnya.

Menukil ungkapan KH Munif Zuhri, bangsa ini mengalami kemunduran jika masih memperdebatkan soal demokrasi. Sistem pemilihan merupakan produk demokrasi. Lebih jauh lagi, cita-cita besar negara ini memang berjalan pada rel demokrasi.

“Kalau Mbah Munif tadi menarik itu. Dan luar biasa. Demokrasi itu dibicarakan dulu sebelum Republik ini lahir. Undang-undang sudah dibuat dan sekarang kita laksanakan. Suka tidak suka, mau tidak mau sudah ada ini harus dilaksanakan. Dasar negara sudah final jangan diomongkan lagi, ini mestinya sudah beres,” ujar Ganjar.

Sementara dalam petuah Keagamaan dan Kebangsaannya, KH Munif Zuhri mengatakan, masyarakat dan negara ini selalu mengulang hal yang sama. Ketika ada masalah, tidak semua langsung merapat untuk berkontribusi menyelesaikan. Tapi di banyak tempat, saling berlomba mengajukan teori. Hal tersebut lah yang membuat persoalan tidak ada yang selesai.

“Saat ini sudah tidak lagi bicara soal demokrasi, demokrasi layak diomongkan pada saat pertama kali Indonesia dibangun. Tapi saat ini waktunya melaksanakan demokrasi. Kita punya semua untuk menapak jalan kemajuan. Sekarang apa yang terjadi, bermula dari orang tidak mampu melihat yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Mungkin itu karena materi atau kacamata mereka yang salah,” bebernya.

 

Penulis : Ib, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Vi, Humas Jateng

Berita Terkait