Bisakah Nilai-nilai Jawa Cegah Korupsi?

  • 22 Nov
  • bidang ikp
  • No Comments

Surabaya – Banyaknya pejabat yang tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) KPK di negeri ini membuat banyak pihak prihatin. Apakah hal itu dipengaruhi budaya? Atau sebenarnya budayalah yang bisa mencegah terjadinya korupsi?

Pertanyaan itu dikemukakan Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP dalam Kongres Kebudayaan Jawa II bertema Mengarusutamakan Kebudayaan Jawa untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Kongres yang diikuti 300 peserta dari delegasi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur itu diselenggarakan di Hotel Mercure Grand Mirana, Rabu (21/11) malam.

“Budaya Jawa punya nilai mencegah korupsi nggak? Sowan Pak Sekda (misalnya), nek kosongan ketoke ora pantes. Jenenge wong Jawa. Delok mawon,” tutur Ganjar seraya memberi contoh.

Ditambahkan, nilai-nilai budaya Jawa, masih sangat kental dengan ewuh pakewuh (sungkan), elok ora elok (pantas tidak pantas). Apabila nilai itu diletakkan pada porsi yang tepat, tentu baik. Namun sebaliknya, jika tidak, justru akan merusak.

“Nilai yang mengarahkan kepada kebaikan-kebaikan sebagai simbol-simbol itu sebenarnya perlu didorong. Di antikorupsi sebenarnya pengarusutamaan budaya jawa ini apa? Endi sing pantes, endi sing ora pantes. Elok karo era elok. Ketika kemudian secara konstektual hari ini mesti didorong, yuk, ayo. Di kongres kedua kita rumuskan,” ajak mantan anggota DPR RI ini.

Kisah Pangeran Diponegoro yang menampar Patih Danurejo karena menyewakan tanah kepada Belanda, katanya, bisa menjadi gambaran nilai budaya Jawa yang diajarkan pada masa itu. Nilai bahwa korupsi merupakan perbuatan yang tidak elok.

Asisten Keistimewaan Sekda DIY Dr Ir Didik Purwadi menyambung, bila menelusur riwayat budaya jawa, terdapat nilai-nilai yang tidak lekang oleh zaman. Hanya, dalam penerapannya di zaman ini, masih perlu perhatian.

“Misalnya ketika bicara kesejahteraan. Kalau dalam seni pedalangan seringkali disebutkan tata titi tentrem kerta raharja. Jadi kita bisa lihat bagaimana nilai-nilai ini seperti tersirat. Tata titi tentrem kerta raharja adalah kondisi kebatinan ideal. Jadi dimensi intangible yang harus dicapai orang jawa. Sedang gemah ripah loh jinawi itu menggambarkan bagaimana bayangan ideal tentang kemakmuran fisik warganya,” papar dia.

Berbicara tata titi tentrem kerta raharja, menurut Didik, idealisme tatanan jawa itu akan tercipta bila memenuhi dua syarat. Yakni, ekosistem yang kondusif dan kepemimpinan yang kuat. Ekosistem yang kondusif sudah dimiliki masyarakat jawa melalui semangat gotong royongnya

“Guyub rukun menjadi dasar dari sisi ekosistem kondusif. Namun catatannya tidak sekadar gotong royong dalam makna jimpitan atau sambatan layaknya hukum sosial masyarakat. Tapi harus diwiradatkan dengan transformasi budaya menjadi kooperasi, kolaborasi ekonomi yang menghasilkan nilai tambah,” beber Didik.

Sementara, imbuhnya, para pemimpin punya kewajiban melakukan penyembuhan berbasis budaya. Sebab, dimensi budaya juga menjadi media rekonsiliasi. Di sisi lain, tercapainya kesejahteraan didorong kepemimpinan yang kuat di semua tingkatan.

“Dalam hal ini nilai yang saya anggap tepat adalah kepemimpinan jawa, manunggaling kawula gusti. Kepemimpinan merakyat yang ditunjukkan sikap ngawula seperti dalam serat wulangreh. Model kepemimpinan itu mampu memahami dan sadar kapan memimpin dan kapan bersedia dipimpin. Model ini mengajarkan kepmimpinan yang demokratis satu dengan yang lain,” tutupnya

Penulis : Rt, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait