Berkarya dengan Baik dan Tak Korupsi, Itu Juga Pahlawan

  • 07 Nov
  • bidang ikp
  • No Comments

Semarang – Seberapa jauh nilai nasionalisme dan perjuangan tertanam dalam pikiran masyarakat? Jika tidak diingatkan, apakah warga akan menaikkan bendera merah putih saat memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia?

Ketua DPD Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Jawa Tengah Kol (Purn) MA Munadjat menyampaikan, di era sekarang, saat kemerdekaan negara ini sudah 73 tahun, perlu dipertanyakan, sudahkah nilai-nilai perjuangan dan nasionalisme itu tertanam. Terlebih, dengan dampak canggihnya teknologi yang cenderung membuat orang menjadi individualistik.

“Kadang, saya berfikiran, untuk memasang bendera 17 Agustus, mbok ya nggak usah diingatkan. Seberapa banyak orang yang ingat dan sadar untuk memasangnya. Kita lihat, sejauh mana nasionalisme masyarakat. Sudahkan nilai-nilai itu tertanam,” ujarnya, saat Dialog Suara Jateng “Semangat Pahlawan Masa Kini”, di Studio Mini Kantor Gubernur Jawa Tengah, Selasa (6/11).

Diakui, tantangan generasi muda saat ini lebih kompleks dan berat dibanding pada masa penjajahan, karena musuhnya tidak berbentuk fisik. Tantangannya pun tidak hanya dari luar, tapi juga dari dalam. Salah satunya hoaks yang mengancam persatuan bangsa.

“Dulu Indonesia bisa menang dari penjajah, padahal senjatanya sederhana. Kemenangan itu karena persatuan. Sekarang tantangannya lebih kompleks. Namun, semua bisa menjadi pahlawan. Berkarya dengan baik, tidak korupsi, itu juga pahlawan,” tegas Munadjat.

Dia berharap, ke depan semakin banyak kegiatan yang bisa membentuk karakter generasi muda. Tumbuhkan rasa kesetiakawanan, kemanusiaan, yang dapat merekatkan persatuan. Sebab, generasi sekarang seolah kesulitan mendapatkan gambaran perjuangan para pahlawan secara nyata.

Hal senada juga disampaikan Sekjen Karang Taruna Jateng I Gede Ananta Wijaya. Menurutnya, remaja zaman sekarang, realitanya memang tidak paham sejarah dan mengenal pahlawan secara detil. Tapi yang terpenting, mereka dapat mengambil teladan nilai-nilai kepahlawanan untuk diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Teladan itu bisa dicontohkan oleh pemimpin di era sekarang, tokoh masyarakat, atau orang tua.

“Untuk jadi pahlawan di era sekarang tidak perlu berjuang berdarah-darah. Cukup melakukan hal kecil dan fokus untuk tanah air, tapi punya dampak luar biasa terhadap masyarakat. Itu sudah bisa disebut agent of change,” urai dia yang juga Ketua Karang Taruna Kota Semarang itu.

Wakil Gubernur Jawa Tengah H Taj Yasin Maimoen juga menyadari, anak-anak zaman sekarang sudah kesulitan menggambarkan peliknya perjuangan merebut kemerdekan. Karena itu, dia merasa perlu mengundang tokoh-tokoh besar di negara yang berkonflik, seperti Yaman dan Syuriah ke Indonesia. Mereka bisa diminta menceritakan bagaimana  peperangan yang tidak berkesudahan menimbulkan banyak dampak negatif, yang membuat rakyat menderita.

“Mereka itu pelaku yang menyaksikan peperangan di zaman sekarang, sehingga bisa diminta menceritakan kepada generasi di sini. Bagaimana perang menimbulkan banyak dampak yang tidak mengenakkan. Dengan begitu akan memunculkan gambaran yang lebih nyata dan menumbuhkan semangat persatuan,” tutur pria yang akrab disapa Gus Yasin.

Di samping itu, imbuhnya, tokoh-tokoh besar di Indonesia juga diminta bisa memberikan teladan yang baik kepada generasi muda. Dia mencontohkan, dalam pesta demokrasi, hendaknya para calon berkampanye dengan santun. Saling merangkul satu dengan yang lain. Sehingga, tercipta suasana yang adem. Seperti dalam pelaksanaan pemilihan  gubernur Jateng tahun ini.

“Dalam Islam juga diajarkan hubbul wathon, cinta tanah air. Di mana semua harus tahu pengorbanan pahlawan. Ketika tahu tujuan berjuang, kita akan bisa menghormati pejuang kita. Tidak mencemooh, tidak mencela, tidak mengoreksi apa yang dilakukan pahlawan,” ungkap mantan anggota DPRD Jawa Tengah ini.

Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah Nurhadi Amiyanto menyampaikan, rasa kesetiakawanan perlu dibangun di kalangan remaja. Pihaknya pun berupaya membuka peluang para siswa untuk “magang” setidaknya selama lima hari di panti sosial, terutama panti wreda yang dikelola Pemprov Jateng. Salah satunya yang sudah berjalan adalah SMAN 1 Semarang. Mulai bangun tidur, siswa diminta turun langsung merawat para lansia, memandikan, memakaikan baju, menyuapi, dan sebagainya.

Insya Allah kalau selama lima hari dari pagi membantu eyang kakung, eyang putri yang terlantar, ndulang (menyuapi), ikut memandikan, kecerdasan sosial dan kemanusiaannya akan terasah. Anak-anak bangsa kita akan menjadi anak yang cerdas tapi berbudi pekerti baik,” katanya.

Jika kegiatan mengasah kesetiakawanan dan kemanusiaan semakin sering dilakukan, Nurhadi meyakini, tidak akan ada tawuran antarsiswa ataupun tindakan kriminal yang dilakukan oleh siswa, seperti perampokan driver taksi online beberapa waktu lalu. Mengingat program tersebut sangat bagus, dia pun sudah berkomunikasi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Gatot Bambang Hastowo, untuk mengembangkannya.

Kepala Sekolah SMA N 1 Semarang Endang Suyatmi Listyaningsih menambahkan, kegiatan ke panti wreda maupun panti asuhan, merupakan upaya menanamkan pendidikan karakter kepada para siswa. Pihaknya merasa prihatin dengan kehidupan mereka yang mulai individualistis karena kehadiran gawai.

“Tiap tahun kami bawa anak-anak ke panti asuhan, ke panti sosial untuk menumbuhkan rasa sosial. Anak-anak itu sekarang selalu bawa gadget. Ke mana pun bawa. Jalan itu ngetik bawa gadget, yang mencerminkan individualisme,” urai dia.

Selain mengadakan program kunjungan sosial, pihaknya juga mewajibkan para wali murid ketika mengajar, memberikan pemahaman, jika manusia adalah makhluk sosial, bukan makhluk invidualistis. Sehingga, para murid diarahkan untuk bersosialisasi, mengerti lingkungan di sekitarnya.

 

Penulis : Rt, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait