Bangkitkan Kembali Tepa Slira dan Relasi Masyarakat

  • 09 May
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang -Gotong Royong merupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang mulai luntur terkikis moderisasi. Jika tidak dilestarikan sejak sekarang, budaya yang mengutamakan kebersamaan dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat tersebut akan hilang. 

Hal itu disampaikan Sidiq, salah seorang pendengar radio di Kota Semarang melalui telepon saat dialog interaktif “Mas Ganjar Menyapa” di rumah dinas Gubernur (Puri Gedeh), Kota Semarang, Selasa (9/5). Dalam dialog dengan narasumber Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP bertajuk ” Gotong Royong” itu, terungkap bahwa budaya warisan leluhur berupa gotong royong baik di kota maupun di desa telah memudar. Partisipasi masyarakat untuk kerja bakti bersih-bersih jalan, ronda malam, gugur gunung, kerik desa, membantu warga punya hajatan sudah mulai ditinggalkan.

“Saya sebagai pengurus RT, dari 63 warga hanya sekitar 20 warga yang mau ikut kerja bakti dan rapat RT. Kalau di desa orang punya hajatan mungkin masih banyak warga yang membantu memasak, sedangkan di kota sudah tidak ada karena lebih banyak yang memilih pesan katering,” ujar Mulyo, penelepon lainnya asal Kota Semarang.

Sementara itu Gubernur Jateng H Ganjar Pranowo SH MIP megatakan, pemerintah dan semua komponen masyarakat harus menggelorakan semangat gotong royong yang semakin hari kian menghilang dalam kehidupan masyarakat. Semua terlibat dan ikut bersama-sama menyelesaikan beragam persoalan sehingga semua beban maupun masalah di masyarakat menjadi ringan.

Tepa slira atau tenggang rasa, relasi masyarakat, dan kebersamaan antarwarga yang mulai hilang harus kita bangkitkan kembali. Gotong royong ini akan menjadi kekuatan bersama sehingga masyarakat bisa menyelesaikan persoalan dan berkontribusi untuk kebaikan bersama,” bebernya.

Ganjar mencontohkan gotong royong warga Karangdowo Kabupaten Klaten untuk mengatasi masalah jalan rusak. Tanpa melihat latar belakang agama, profesi, maupun perbedaan lainnya, masyarakat yang menamakan diri “Karangdowo Raya Bersatu” bekerja bakti menambal jalan yang berlubang di sekitar kantor kecamatan, gereja, puskesmas, dan jalan desa.

Aksi bersana yang berupakan bentuk kepedulian masyarakat untuk kepentingan bersama itu digerakkan secara beramai-ramai. Keluarga gereja, Banser, dan masyarakat umum terlibat bersama menambal jalan sebagai upaya mengurangi risiko kecelakaan kendaraan yang melintas di wilayah Karangdowo.

Selain itu, lanjut dia, bentuk gotong royong yang masih ada yakni gerakan Sekolah Sungai yang digagas sekelompok masyarakat di Klaten. Gerakan Sekolah Sungai berawal dari gotong royong warga membersihkan sungai dari sampah yang kemudian menjadi kegiatan rutin warga. Partisipasi masyarakat tidak hanya tenaga melainkan juga makanan, uang, serta benih ikan yang ditebar di sungai.

“Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Contoh gampangnya masalah selokan di sekitar rumah yang mampet. Jika diatasi dengan kerja bakti secara rutin maka selokan akan selalu bersih,” terangnya.

Ia menambahkan, gotong royong merupakan bagian dari revolusi mental. Banyak faktor penyebab lunturnya kegotongroyongan dalam kehidupan di desa maupun kota. Antara lain karena arus perkembangan zaman, kesibukan masing-masing individu, malas atau enggan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat, serta egoisme.

Kondisi tersebut terlihat kentara di perkotaan, seperti bentuk bangunan rumah dengan pagar tinggi menjulang, terhadap tetangga tidak saling kenal, mencerminkan individualisme yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.

“Dulu di desa kalau tanaman di kebun rumah berbuah dan panen, tetangga tidak dilupakan karena merasa bersaudara dan saling membutuhkan. Bawang habis bisa minta tetangga, bahkan ada kebiasaan mencicipi masakan tetangga. Tradisi-tradisi seperti itu sangat jarang ditemui di kota,” pungkasnya.

 

Penulis : Mn, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

 

Berita Terkait