Jangan Hanya Tayangkan Konten Lokal di “Jam Hantu”

  • 04 Apr
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah prihatin dengan minimnya konten lokal yang ditayangkan oleh sejumlah televisi swasta nasional. Beberapa televisi swasta nasional justru gencar menayangkan program acara yang mengusung budaya asing, seperti film India hingga kartun anak berbahasa Melayu.

“Kami sangat resah ketika salah satu TV swasta hampir sepanjang waktu menayangkan film India. Saya melihat itu seperti TV cabang India. Itu sangat mengenaskan. Kita sedang mendata apa sudah melebihi persentase  atau belum. Upaya ini sekaligus mengurangi hegemoni budaya asing,” kata Komisioner KPID Provinsi Jawa Tengah Tazkiyyatul Muthmainnah saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Peran Lembaga Penyiaran dalam Menumbuhkan Kearifan Lokal, Bukan Alat Industri Penyiaran”, di Aula Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jawa Tengah, Selasa (4/4).

Perempuan yang akrab disapa Iin menambahkan, pihaknya juga meminta program acara kartun anak yang berbahasa Melayu dapat disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia. Meski konten programnya edukatif, namun dia khawatir apabila anak-anak di Tanah Air justru lebih menguasai bahasa asing daripada bahasa nasionalnya.

“Kami juga meminta acara Upin-Ipin dapat disulihsuarakan karena anak-anak sekarang lebih pintar ngomong bahasa Melayu. Begitu pula acara Pada Zaman Dahulu. Waktu saya kecil, yang mendongeng itu kan orang tua. Sekarang yang mendongeng orang Malaysia. Cerita-cerita lokal Indonesia itu, anak-anak justru tahunya cerita itu dari Malaysia. Ini memrihatinkan,” tuturnya.

Perempuan berhijab itu membeberkan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebenarnya sudah memberikan batasan kepada media, baik sebagai institusi ekonomi maupun agen pelestari nilai-nilai budaya. Sebagai institusi ekonomi, persentase iklan yang ditayangkan sebesar 20 persen. Persentase tersebut mencakup iklan niaga dan iklan layanan masyarakat.

“Sementara itu, untuk cermin budaya sebesar 80 persen. Ada program pendidikan, agama, hiburan. Untuk Stasiun Siaran Berjaringan (SSJ) harus mengalokasikan sepuluh persen konten lokal. Faktanya belum semua memenuhi. Kalau pun ada, di jam-jam ‘hantu’, pukul 03.00 pagi,” ungkapnya.

Iin juga menyoroti masih kurangnya konten lokal tersebut dari dialog atau pembicaraan yang disiarkan. Misalnya, radio di lingkup Semarang maupun Jawa Tengah, masih terpengaruh budaya luar daerah, seperti budaya Betawi.

“Kalau kita mencermati, di radio-radio kita di lingkup Semarang dan Jawa Tengah, kadang ,masih ada bahasa lu-gue. Padahal ngomongnya medhok. Biarlah lu-gue jadi budaya orang Betawi, kita angkat saja budaya Jawa Tengah,” ucapnya.

Senada dengan Iin, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Dr Ir Sri Puryono KS MIP menegaskan, media jangan hanya berorientasi pada rating. Tetapi juga menjunjung budaya lokal melalui siaran mereka.

“Program-program jangan hanya berorientasi pada hiburan atau meningkatkan rating.  Tetapi isinya juga harus mendidik. Kita itu WNI, bangsa Timur yang berbudaya,” tegasnya.

Tak hanya itu, Sri Puryono menekankan agar media benar-benar memahami segmentasi audiensnya dan menyesuaikan dengan jam tayang dan konten siaran. Sri Puryono menjelaskan, masyarakat dan media harus sama-sama cerdas. Di satu sisi, masyarakat, khususnya orang tua harus mampu memilah dan memilih konten siaran yang tepat untuk dikonsumsi oleh putera-puterinya. Di sisi lain, media pun wajib menjunjung integritas mereka.

“Masyarakat harus kita cerdaskan. Seperti di Yogyakarta itu di daerah-daerah tertentu, di tingkat RW/kelurahan, mahasiswa dan pelajar dilarang menonton TV pada jam 19.00 sampai 21.00 WIB. Itu bentuk edukasi. Di sisi lain, pihak pemberi berita atau siaran itu juga harus kita beri bekal. Mereka harus berintegritas, harus bermartabat. Jangan sampai memberikan siaran itu asal laku,” pungkasnya.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Tengah, Teguh Hadi Prayitno tidak menampik jika persoalan rating menjadi kendala tersendiri dalam menyampaikan informasi. Pasalnya, rating berkaitan erat dengan pemasangan iklan yang merupakan sumber penghasilan media. Jika rating suatu tayangan atau penyiaran tinggi, akan berpengaruh pada banyaknya pemasang iklan. Kendala lain yang dihadapi, kepentingan bisnis, kepentingan politik, serta objektivitas news room.

Untuk mengatasi hal tersebut tidak hanya lembaga penyiaran yang harus melakukan upaya perbaikan, tapi juga butuh peran dari jurnalis, KPI, pengambil kebijakan, perguruan tinggi, masyarakat, dan pihak terkait lainnya. Namun, dia meminta masyarakat tidak terlalu resah dengan perkembangan media. Sebab, ada aturan yang mengikat insan media, baik KUHAP, KUHP, maupun Undang-undang Pers.

Kepala Diskominfo Provinsi Jawa Tengah Dadang Somantri menyampaikan televisi memang menjadi bagian kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga, pengaruh televisi sangat dahsyat, khususnya terhadap pertumbuhan anak-anak. Karenanya diperlukan kearifan lokal dalam pengelolaan. Bukan hanya mengedepankan kepentingan bisnis, tapi tayangan televisi diharapkan dapat mendidik dan mencerdaskan masyarakat dengan arif.

“Pelaksanaan FGD ini diharapkan bisa memberikan informasi dan solusi konkret bagi pimpinan, untuk membuat tayangan televisi yang mendidik, serta bisa memberi arah yang lebih jelas dalam membangun pertelevisian di Jawa Tengah,” tandasnya.

 

Penulis : Ar, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait