Pengelolaan Sampah Tak Bisa “Sak Dek Sak Nyet”

  • 25 Sep
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Persoalan sampah belakangan ini sudah masuk pada tahap darurat. Tak hanya jumlahnya yang semakin banyak, komposisi sampah organik yang semula mendominasi kini tergeser dengan banyaknya sampah anorganik yang susah terurai.

Guru besar Fakultas Teknik Undip Prof Syafrudin mengungkapkan, pola konsumsi masyarakat yang bergeser, salah satunya, membeli makanan siap saji, membeli sesuatu mesti berbungkus plastik, membuat komposisi sampah berubah. Jika dulu sampah masih didominasi sampah organik sebanyak 60-70 persen dan nonorganik 30-40 persen, namun sekarang komposisinya hampir berimbang.

“Sementara TPA (Tempat Pembuangan Akhir) kita sudah tidak mampu lagi menampung. Jadi, butuh upaya penanganan sampah. Yang pertama, bagaimana mengurangi sampah dari sumbernya, dan bagaimana mengolahnya,” tegasnya, saat Rapat Persiapan Kongres Sampah di Dinas Pekerjaan Umum Sumberdaya Air dan Penataan Ruang (DPU SDA Taru) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (25/9/2019).

Ditambahkan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengelolaan sampah. Pertama, menyangkut kelembagaan, yakni pembagian tugas dan kewenangan, seperti siapa yang melakukan, siapa sebagai operator, siapa yang mengawasi, siapa yang menangani pelanggaran, bagaimana tanggung jawab masyarakat, dan sebagainya.

Kedua, peraturan daerah sebagai tindak lanjut peraturan yang sudah ada. Sebenarnya, imbuh Prof Syafrudin, peraturan mengenai sampah ini sudah terhitung lengkap, mupai dari Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Pengelolaan Sampah, hingga peraturan pelaksanaannya. Namun, dia menyoroti perlunya keberanian pemerintah untuk menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai aturan tersebut, beserta sanksinya.

“Kesannya itu (pengelolaan sampah) tanggung jawab pemerintah,” katanya.

Prof Syafrudin mengusulkan agar pemerintah bisa memikirkan aspek finansial dengan memberlakukan tangible cost pada sampah, di mana sampah yang dikeluarkan mesti dibiayai pengelolaannya oleh masyarakat, sama seperti jika masyarakat ingin memperoleh air bersih. Jadi, semakin banyak sampah yang dikeluarkan, kontribusi mereka juga bertambah.

Dari aspek teknis, masyarakat juga mesti mengetahui rantai pengelolaan sampah, sehingga mereka tahu mana sampah yang mesti dikelola warga. Bagaimana pun, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan, untuk handarbeni, setidaknya meminimalkan produksi sampah dari tingkat rumah tangga.

“Pengelolaan sampah tidak bisa sak dek sak nyet. Mau tidak mau semua harus bergerak bersama dalam rantai yang tertutup. Karena per hari, produksi sampah per orang mencapai 0,6-0,8 kilogram. Bayangkan, berapa banyak jika dikalikan dengan jumlah penduduk Jawa Tengah,” ungkap Prof Syafrudin.

Sekjen Kongres Sungai Indonesia (KSI) Agus Gunawan Wibisono menekankan, persoalan sampah di Jawa Tengah memang dalam kondisi darurat. Sehingga butuh kesadaran dari semua pihak, baik keluarga, masyarakat, pengambil kebijakan, apa yang bisa dilakukan agar sampah tidak jadi persoalan tapi mesti dikelola agar menjadi bagian dari kehidupan kita.

“Tak hanya kualitas sampah yang bertambah, tapi kualitas sampah juga makin bertambah, baik bahan baku, maupun residu yang dihasilkan. Butuh pendekatan teknologi dengan membuat terobosan teknis maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Unsur 5P, yakni pemerintah, people atau masyarakat, private sector, perguruan tinggi, dan pewarta, mesti bekerja sama menangani sampah, salah satunya dengan Gerakan Antisampah Nonorganik,” tandasnya. (Ul, Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait