Pemerintah Didorong Terbitkan Perpu Pengatur Prostitusi

  • 10 Jan
  • bidang ikp
  • No Comments

Semarang – Isu praktik prostitusi online kembali mencuat sejak berita tertangkapnya artis dan mucikari di sebuah hotel di Surabaya. Penangkapan itu pun mengundang tanya masyarakat, mengapa pengguna jasa prostitusi tersebut tak terdengar kabarnya seolah tak tersentuh hukum?

Dalam Dialog Suara Keadilan bertema “Benarkah Penikmat Prostitusi dapat Dipidana?”, di Studio CakraTV, Rabu (9/1) malam, Ketua PW Fatayat NU Jawa tengah, Tazqiyatul Muthmainah menilai adanya ketidakadilan dalam kasus prostutisi, karena yang mendapat sanksi moral hanya perempuan. Masyarakat cenderung menghakimi perempuan, padahal prostitusi bukan hanya kesalahan perempuan melainkan sebuah lingkaran yang saling berhubungan satu sama lain.

“Ada ketidakadilan di sini. Si perempuan ditulis dengan nama lengkap, sedangkan si user atau yang biasa disebut pemakai hanya ditulis inisial,” sorotnya.

Perempuan yang akrab disapa Iin ini juga memberikan saran kepada perempuan agar tidak “menjual” diri sendiri, dengan harga berapapun.

Pihak Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah, Belinda W Dewanti SH tidak sepakat dengan istilah human trafficking, mengingat tidak ada paksaan pada praktik prostitusi. Namun, dia meminta agar penegakkan hukum dilakukan secara tuntas. Mulai dari mucikari, pengguna jasa, maupun pelaku prostitusinya, mesti diproses secara hukum.

Anggota Komisi Informasi Publik Jawa Tengah Zainal Abidin Petir menekankan, ketatnya regulasi diperlukan mengingat prostitusi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Dia menunjuk contoh, adanya “istri simpanan” yang sebenarnya juga merupakan prostitusi terselubung.

“Kondisi genting yang apabila terjadi terus menerus akan menjadi jalan pintas bagi seseorang untuk melakukan bisnis prostitusi. Pemerintah harus ketat mengeluarkan regulasi,” tegasnya.

Ditambahkan, praktik prostitusi tidak dapat dijerat menggunakan UU human trafficking. Sebab, dalam praktik prostitusi terdapat transaksi dan kesepakatan dari semua pihak yang terlibat.

“Ada Undang-undang tapi tidak memadai. Saya memberikan saran kepada Presiden agar membikin Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang mengatur seluruh elemen prostitusi,” ujar Zainal.

Lantas, ancaman hukum apa yang berlaku pada kasus prostitusi? Pakar hukum dari Universitas Wahid Hasyim Semarang Dr Suparmin, menyampaikan, mengacu pada pasal 296 KUHP, jerat hukum hanya mengancam bagi penyedia jasa atau mucikari. Sedangkan pengguna jasa dan pekerja seks yang mendapat keuntungan belum dikenai ancaman hukum.

Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Dr Suratno menambahkan, pelaku dapat dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan dari UU Nomor 11 Tahun 2008 dengan ancaman penjara selama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar, jika terbukti melakukan transaksi secara online. Termasuk jika dia menyebarluaskan konten yang melanggar kesusilaan.

Sementara itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Tengah, Dadang Somantri, meminta masyarakat menjauhi prostitusi karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama maupun norma sosial. Praktik prositusi dapat dicegah melalui cara membentengi diri dengan akhlak yang baik, diikuti dengan memperkuat iman dalam beragama, serta memahami dampak negatif prostitusi.

 

Penulis : Hi/Tu, Diskominfo Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait