Musala Hidayatullah Salatiga, Potret Kerukunan Multietnis Jawa Tengah

  • 24 Jan
  • bidang ikp
  • No Comments

SALATIGA – Menyebut pluralisme, Kota Salatiga satu di antaranya yang dihuni warga dari beragam etnis. Meski begitu, nyaris tidak terdengar konflik antaretnis maupun antarumat beragama. Toleransi begitu kental mewarnai kehidupan masyarakatnya.

Lihat saja di Kelurahan Krajan, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Islam bukan menjadi agama mayoritas di wilayah itu. Ada Kristen, Katolik dan Budha, bahkan ada sekolah internasional. Saking tolerannya, musala sebagai tempat ibadah umat Islam yang biasanya identik dengan kubah bergaya timur tengah, tak berlaku pada Musala Hidayatullah.

Bangunan yang terletak di Jalan Abiyasa itu mirip sekali dengan tempat ibadah Tri Dharma, kelenteng. Warna catnya merah, dipadu dengan strip warna kuning yang mencolok. Sedangkan, warna gentingnya hijau tua.

Namun, bila seksama dilihat, ada pembeda yang pasti, yakni kaligrafi Allah dan Muhammad, di sisi kiri kanan gerbang. Sedangkan, di atas atap gapura, terdapat kubah kecil yang terbuat dari alumunium.

Juwariyah, pemilik Musala Hidayatullah menjelaskan, bangunan itu dibuat pada 2005. Namanya diambil dari nama almarhum suaminya Kho Yu Che yang lantas bersalin nama menjadi Yusuf Hidayatullah, setelah menjadi muslim. Dulu sebelum menjadi musala, lahan seluas lebih kurang 500 meter persegi itu adalah tempat adu suara burung.

“Lalu ketika kami berziarah ke Makam Rasulullah, bapak (Yusuf Hidayatullah) mendapatkan hidayah dari Allah lantas merubahnya jadi musala,” ucap Juwariyah yang akrab dipanggil Jujuk, Kamis (22/1/2020).

Meskipun memiliki rupa seperti kelenteng, namun tidak ada pertentangan dari warga muslim setempat. Sebagaimana musala lain, tempat ini masih tetap melaksanakan salat jamaah, lima waktu.

Di samping umat muslim, hubungan dengan warga nonmuslim juga kental. Kekeluargaan, membuat tetangga kanan kiri, merasa memiliki Musala Hidayatullah.

Menurut Jujuk, di wilayahnya muslim bukanlah agama mayoritas. Banyak di antaranya yang menganut Kristen, Katolik dan Budha. Namun, setiap kali ada acara di musala, warga nonmuslim dengan senang hati datang.

“Pluralismenya sangat tinggi, di sini Islam bukan menjadi agama mayoritas, ada Kristen, Katolik dan Budha. Bahkan ada sekolah internasional. Kalau (musala) ada acara mereka dengan senang hati datang. Bahkan, kalau tidak diundang, mereka justru bertanya-tanya. Mengapa mereka tidak ikut dilibatkan. Kekeluargaannya memang sangat kental,” urainya.

Ditambahkan, hubungan harmonis antarumat multietnis tergambar dengan upaya saling menghormati ritual keagamaan masing-masing. Juwariyah mencontohkan, ketika musala tersebut sedang menggelar pengajian ataupun mengumandangkan azan dari corong pengeras suara, tak ada protes dari warga sekitar.

Hal itu menurutnya, adalah bagian dari toleransi yang amat kuat, di lingkungan tersebut.

“Toleransi di sini amat tinggi. Contohnya, kita mengumandangkan azan ataupun selawatan melalui pengeras suara, tidak ada yang komplain,” kata dia.

Tidak hanya itu, Pemerintah Kota Salatiga pun ikut mendukung keberadaan musala Hidayatullah. Hal itu dibuktikan dengan kunjungan Walikota Salatiga Yuliyanto.

“Dukungan dari walikota dan wakil walikota juga bagus. Beberapa kali ke sini. Kalau ada program di Salatiga, kami turut diundang. Semoga ini menjadi contoh untuk Indonesia,” jelas dia.

Tukiman, warga sekitar mengatakan, musala tersebut sering digunakan warga kampung. Bahkan pada bulan ramadan, banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan.

“Namun kadang ada orang dari luar wilayah, yang ragu untuk masuk, lantaran bentuknya seperti kelenteng. Akan tetapi setelah membaca papan petunjuk, ya akhirnya masuk,” ucapnya.

Ia menambahkan, beberapa mahasiswa IAIN Salatiga juga kerap mengadakan kegiatan di Musala Hidayatullah. Bahkan, ada beberapa di antaranya, yang ikut mengajar ngaji, di tempat tersebut. (Pd/Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait