Latih Berwirausaha, Santri Ponpes Ini Tak Boleh Terima Uang dari Orang Tua

  • 04 Jul
  • bidang ikp
  • No Comments

KUDUS – Pengelola pesantren harus berpikir keras untuk tetap mengajarkan ilmu agama dan bertahan hidup dengan cara cerdas dan mandiri, kepada para santri di masa pandemi Corona. Seperti yang dilakukan Pesantren Al Mawaddah, Kabupaten Kudus.
Pengasuh Pesantren Al Mawaddah Kudus, KH Sofiyan Hadi mengatakan, selain mengajarkan ilmu agama, pendidikan di pesantrennya juga membekali santri dengan berbagai ketrampilan.
“Sehingga sejak masuk, santri sudah diajarkan mandiri,” kata Sofiyan ditemui di kebun pesantrennya, di Desa Honggosoco, Kecamatan Jekulo, Kudus, baru-baru ini.
Oleh karena itu, pesantren menyediakan beberapa unit usaha yang bisa dikerjakan semua santri. Mulai toko ritel, tempat outbound, hingga adanya kebun yang biasa dikelola santri bernama Kebun Alquran. Nama kebun itu berdasarkan tumbuhan yang ditanam, berasal dari nama buah yang disebutkan di Kitab Alquran, seperti berbagai jenis kurma, tin, delima, anggur, bidara, dan lainnya.
Adapun syarat menjadi santri adalah harus berstatus mahasiswa. Jumlah santri sekitar 60 orang. Para santri mendapatkan pengajaran ketrampilan tergantung dari tingkatan semester di bangku perkuliahan. Misalnya, untuk santri di semester pertama mendapatkan pengajaran ketrampilan mengelola toko ritel. Bila sudah di semester tiga atau lebih, keterampilannya naik menjadi pelatih (trainer), atau lainnya.
Dia menjelaskan untuk pelatih itu dibutuhkan karena di kebun dan tempat outbound milik pesantren yang kerap dikunjungi masyarakat, keberadaan pelatih berguna.
“Mereka (santri) dapat income dari situ. Dengan begitu, mereka tidak membutuhkan kiriman orang tua. Jadi, syarat mondok di Al Mawaddah. Pertama, harus mahasiswa. Kedua, ikut program tahfiz (hafal) Alquran. Ketiga, tidak boleh menerima kiriman orang tua. Kuliah harus dari jerih payah mereka sendiri,” sambung Sofiyan.
Ditambahkan, keberadaan pesantren itu sudah berjalan hingga 12 tahun. Dari tempat belajar tersebut sudah ada santri yang lulus. Mereka selain hafal Alquran, juga mendapat ketrampilan usaha. Tidak heran jika bekal dan ketrampilan membuat orang tua santri merasa senang.
Enggak pakai transfer (kiriman orang tua) tapi punya tabungan hasil mandiri selama di pesantren,” ujarnya.
Dia menjelaskan di pesantren yang dikelolanya memiliki beberapa lahan. Kalau lahan yang di atasnya berdiri bangunan pesantren, kebun, toko, SPBU mini, dan jembatan timbang digital ini sekitar tiga hektare. Sedangkan di lingkungan luar ada beberapa luasan lahan lagi. Lahan di luarĀ terbentang dari Kudus, Pati, Jepara, hingga Rembang, digunakanĀ untuk bisnis pertanian yang ditanami padi, tebu, kedelai, jagung, dan pihaknya pun memiliki ratusan orang petani binaan.
Sofiyan menjelaskan dengan berbagai ketrampilan, santri menjadi mandiri dan juga memiliki ilmu agama. Pesantrennya juga membatasi waktu belajar hingga mereka wisuda di perguruan tingginya.
Namun sepengetahuannya, ada juga santri yang masih bertahan di pesantren karena menikmati belajar ketrampilan berwirausaha. Jika sudah demikian, pesantren akan memaksimalkan lulusannya sebagai tenaga supervisi yang mengajari santri baru.
Sejauh ini santri tidak pernah mengeluh soal tanggung jawab di pesantren. Yakni mulai menghapal Alquran, menjadi mahasiswa, hingga menjalankan aktivitas kemandiriannya.
“Yang diberikan adalah, manajemen waktu,” imbuhnya.
Lantas apakah di masa pandemi ini, santri terganggu dalam menjalankan aktivitas wirausahanya? Untuk menyiasati hal itu, mereka memanfaatkan telepon pintarnya untuk memasarkan produk secara online.
“Di pesantren, semua santri semua jualan lewat HP (handphone). Sebulan rata-rata bisa mendapatkan uang senilai UMK (upah minimum kabupaten) sekitar Rp 1,5 juta-Rp2 juta (per orang),” bebernya.
Di masa pandemi Covid-19 ini, pesantren memberlakukan pula sistem belajar online. Bahkan, beberapa waktu lalu saat pesantren mengadakan seminar kewirausahaan online, jumlah pesertanya mencapai 7.777 orang. Jadi pembelajaran tetap berjalan dari rumah, dan bisnis tetap berjalan.
Seorang santri Muhammad Luthfi Syaf, asal Mlonggo, Kabupaten Jepara, mengaku sudah empat tahun belajar di Pesantren Al Mawaddah. Selama kurun tersebut, dia bisa mendapatkan ketrampilan untuk mandiri, kewirausahaan, hingga spiritual.
“Alhamdulilah, saya di sini mendapatkan banyak pengalaman. Seperti sekarang menjadi content creator (pesantren),” jelasnya yang juga didapuk menjadi pengelola Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas pesantren, yang tengah mengedit video di depan layar komputer. (Ak/Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait