Ketika Babi Hutan Masuk Kampung

  • 30 Jun
  • bidang ikp
  • No Comments

SURAKARTA – Apa yang terpikir dalam benak Anda jika melihat babi hutan tiba-tiba berkeliaran di sekitar rumah? Apalagi, di tengah kemunculan babi, ada satu warga yang perekonomiannya meningkat.

Bisa jadi warga akan curiga, apakah babi itu benar-benar hewan yang turun ke rumah warga, atau justru babi ngepet. Maklum, cerita babi ngepet yang dikaitkan dengan.pesugihan, masih ada di masyarakat.

Itu pula yang dihadapi warga Kampung Magersari yang terletak di lereng Gunung Tidar. Kabar mengenai seorang warga yang melihat seekor babi di depan rumah Sambi membuat suasana desa mendadak ramai. Kondisi perekonomian Sambi yang belakangan naik, membuat para tetangga semakin curiga.

Ndesane dewe ora aman, ana sing ngingu pasugihan. Aku mlaku karo kanca-kanca lewat omahe Pak Sambi, weruh babi ning ngarep omahe (Desa kita tidak aman. Ada yang memelihara sesuatu untuk kekayaan. Saya jalan dengan teman-teman lewat rumah Pak Sambi, ada babi di depan rumahnya),” ujar salah satu warga.

Kecurigaan warga bertambah setelah ada warga yang melihat putri Sambi membeli lilin. Mendengar cerita-cerita tersebut, warga kampung Magersari berbondong-bondong mendatangi rumah Sambi dan mengusirnya dari kampung. Sambi yang merasa tidak salah membela diri dengan menjelaskan jika lilin yang dibeli putrinya bukan untuk ngepet.

Lilin menika disumet kangge nylomot plastik-plastik. Kula sadeyan bumbu pawon wonten peken (Lilin ini dinyalakan untuk membakar plastik. Saya jualan bumbu dapur di pasar),” jelas Sambi kepada warga.

Mendengar ada keributan, lurah setempat mendatangi dan menjelaskan kepada warga dengan membawa babi yang sudah tertangkap, kalau babi di desa itu memang benar-benar babi. Hawa di Gunung Tidar yang semakin panas membuat banyak binatang turun gunung. Lurah pun berpesan pada warganya agar tidak mudah terhasut oleh berita yang belum tentu kebenarannya.

Cerita tersebut disampaikan oleh Tim Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) Kota Magelang pada Seleksi Pertunjukan Rakyat Tahun 2019 di Taman Cerdas Jebres, Kota Surakarta (28/6/2019). Seleksi yang merupakan putaran keempat selelah dilangsungkan di Salatiga, Temanggung dan Batang
tersebut, menampilkan peserta dari enam kabupaten/ kota. Yakni Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Pemalang. Tema yang dimainkan pun beragam.

Jika Kota Magelang menampilkan pesan agar masyarakat tak mudah terpancing hoaks, Kabupaten Banyumas menampilkan pesan pentingnya persatuan. Mereka menceritakan tentang perselisihan anak-anak sanggar tari setelah mendapat undangan pentas ke luar negeri agar membawa tari tradisional unggulan. Ada beberapa anak yang menginginkan tari lengger untuk dibawakan di sana, namun ada juga yang menginginkan tari jaipong dipentaskan ke luar negeri.

Hal itu membuat suasana sanggar terpecah oleh ego masing-masing. Mereka seakan lupa, kebudayaan sebenarnya untuk menyatukan bangsa, bukan justru memecah belah. Namun hal yang tidak terduga terjadi, undangan pementasan dibatalkan. Akhirnya mereka sadar, persatuan lebih penting dari mendahulukan ego masing-masing.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Tengah melalui Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Setyo Irawan berharap, para peserta tidak melulu mencari juara pada seleksi ini, namun yang terpenting adalah pesan yang tersampaikan kepada masyarakat melalui kesenian tradisional. Menurutnya, tujuan utama seleksi tersebut bukan mencari juara, namun membangkitkan kembali kesenian daerah sebagai media diseminasi informasi, sekaligus memasyarakatkan kesenian daerah yang akhir-akhir ini mulai kurang diminati.

“Saya yakin untuk lomba semacam ini jarang ada. Kita ikut prihatin kalau kesenian tradisional itu peminatnya sangat kurang. Barangkali kalau ini berkali-kali kita gembar-gemborkan untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional, saya yakin masyarakat akan mampu mencintai keseniannya sendiri,” imbuh Setyo. (Di/ Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait