Jangan Terjebak Mesti Saingi Radio Swasta

  • 15 Aug
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Apa benar Radio Republik Indonesia (RRI)  tidak ada lagi yang mendengarkan? Apakah RRI akan terus bertahan? Lalu konten RRI yang seperti apa yang akan bertahan hingga 25 tahun ke depan?

Menurut Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Diponegoro Lintang Ratri, hingga kini RRI masih didengar dan memiliki potensi yang besar. Berdasarkan penelitian media mapping yang dia lakukan di lima provinsi se-Indonesia, yaitu Jawa Timur, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua, pendengar RRI masih banyak. Di Papua, 98% masyarakatnya masih mendengarkan RRI. Bahkan di Jawa Timur, tepatnya Surabaya, RRI menduduki posisi ke tiga teratas, radio yang paling banyak didengar.

“Penelitian ini menguatkan bahwa di tengah perkembangan digital dan internet yang begitu pesat, masih banyak yang setia mendengarkan RRI. Salah satunya adalah untuk mencari informasi yang terpercaya,” ungkapnya dalam Focus Group Discussion Grand Design LPP RRI 2020–2045 “Programa, Program dan Konten di Era Multiplatform Media”, di Kantor RRI Semarang, Rabu (14/8/2019).

Melihat kenyataan itu, imbuh Lintang, RRI tak perlu berkecil hati. Namun, menurut dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro itu, RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik jangan terjebak dengan mindset harus membuat konten yang dapat menyaingi radio Swasta. Sebagai LPP, memang perlu memikirkan konten seperti apa yang akan didengarkan pasar, tapi kualitas juga perlu diperhatikan.

Wanita berjilbab itu pun memberikan masukan agar RRI dapat bertahan hingga 25 tahun ke depan. Menurutnya, RRI perlu berubah, bukan identitas melainkan kemasannya. Kemasan boleh berubah sesuai zaman dan pasar, namun identitas dan DNA RRI sebagai media LPP yang membawa misi negara untuk mencerdaskan bangsa, mutlak dipegang teguh.

Selain itu RRI harus berinovasi dan berkolaborasi. Misalnya, memanfaatkan media sosial, seperti Facebook, Podcast, dan sebagainya, sebagai media menyampaikan konten maupun marketing, tanpa meninggalkan identitasnya. RRI sebagai media informasi yang terverifikasi, diharapkan dapat nguri-uri budaya melalui siaran berbahasa daerah. Namun, mereka juga mesti memiliki program berbahasa asing, untuk memromosikan potensi daerah atau Indonesia, khususnya pariwisata. Sehingga bisa menjadi referensi media asing maupun wisatawan mancanegara.

Senada dengan Lintang, Rektor Udinus Semarang Edi Nur Sasongko dan Ketua Dewan Pengawas LPP RRI Mistam pun berpendapat RRI harus berubah dari segi kemasannya dan tetap memegang identitasnya sebagai media pembawa misi negara. (Ic/Ul, Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait