Hidup Berdampingan, Tak Ada Keluarga yang Tertular Kusta

  • 03 Feb
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Kusta seringkali dipandang penyakit yang mengerikan dan mudah menular. Bahkan, penderitanya seringkali dikucilkan atau justru disembunyikan karena takut tertular.
Anggapan buruk tentang penyakit kusta hingga memojokan penderitanya, diakui Suyatin (51), mantan penderita kusta. Saat ditemui usai Peringatan Hari Kusta Sedunia Tingkat Provinsi Jawa Tengah, di Grhadhika Bhakti Praja, Senin (3/2/2020), dia yang mengetahui menderita kusta sejak kelas enam sekolah dasar ini mengaku sempat dijauhi temannya.
“Awalnya tidak tahu saya ini kena penyakit apa pas kelas enam sekolah dasar. Lalu kemudian berobat dan diberitahu, saya kena kusta. Lalu beberapa teman alon-alon (pelan-pelan) meninggalkan saya. Namun ada juga sih, yang sampai sekarang berkawan baik,” ujarnya yang kini tinggal di Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Jepara.
Ia lantas menjalani beberapa kali pengobatan di Rumah Sakit Tugurejo Semarang. Sempat tak terima dengan kenyataan tersebut, Suyatin akhirnya tersadar, penyakitnya bagian dari skenario Tuhan.
Setelah dirawat di RSUD Tugurejo, ia lantas dirujuk ke RSUD Kelet. Di tempat itu, ia memeroleh pekerjaan dan istri di tempatnya itu.
“Saya sekarang punya dua anak dan tujuh cucu. Semuanya tidak ada yang terkena kusta,” kata dia.
Kini, ia bekerja sebagai petani dan memiliki toko di dekat rumah sakit yang dulu di kenal dengan nama RS Kusta Donorojo. Baginya, menjadi penderita kusta, tak memupuskan haknya untuk berusaha sebagaimana orang sehat lain.
Hal senada juga disampaikan Rohmat (55), yang juga pernah menderita kusta. Dia berharap masyarakat tak lagi was-was hidup berdampingan dengan penderita kusta. Terbukti, anak dan cucunya tak ada yang tertular kusta.
“Anak saya malah sekarang ada yang jadi perawat. Jadi, kuncinya jangan takut. Kalau was-was malah bisa sakit sendiri. Sama kalau kita melihat orang gatal-gatal, kita takut tertular tapi malah merasa gatal sendiri,” ujarnya.
Penularannya Tak Mudah
Apakah perlakuan masyarakat menjauhi penderita kusta bisa dibenarkan? Direktur RSUD Kelet Widyo Kunto menjelaskan, stigma buruk masyarakat mengenai penyakit kusta mesti dihilangkan. Sebab, kusta bukan penyakit kutukan, bukan pula penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Meski kuman Bakterium Lepra bisa menyebar melalui udara dan kontak langsung, tapi penularannya tak mudah. Butuh kontak dalam waktu lama, dominasi faktor genetik, serta dipengaruhi ketahanan tubuh.
“Manusia, secara prosentase 95 persen memiliki self immune (kekebalan tubuh). Sementara dua persennya dipengaruhi manifest (penularan). Jadi, kalau kita termasuk yang 95 persen tidak apa-apa kita bersalaman dengan pasien kusta,” ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, Widyo berharap warga tak memberi stigma buruk, apalagi menjauhi penderita kusta. Asal ditangani  dengan tepat, penyakit tersebut bisa disembuhkan.
Ditambahkan, kusta yang tidak segera ditangani dapat berakibat pada kecacatan pada penderitanya. Untuk itu, deteksi dini mutlak dilakukan agar segera dapat tertangani. Salah satu gejala awal yang mesti diwaspadai, adanya bercak putih mirip panu, tapi tidak terasa saat disentuh atau dicubit.
“Bisa dimana saja (tanda seperti panu) di bagian-bagian tubuh. Bila timbul gejala tersebut akan diperiksa sampel dari hidung, telinga, untuk melihat atau tidaknya material bakteri. Kalau memang ada, di puskesmas tersedia obat kusta yang bisa didapatkan secara gratis,” paparnya.
Widyo mengungkapkan, wilayah pantai utara Jawa Tengah termasuk daerah endemis  kusta, seperti Brebes, Pekalongan, Kendal, Demak dan Blora.
Dokter spesialis kulit dan kelamin dari Undip Renni Yuniati, menambahkan, pantura menjadi daerah endemi karena kebanyakan warganya memiliki faktor genetik dari orang India ataupun Brasil. Faktor genetik itu yang membuat risiko tertular kusta.
Diakui, kewaspadaan terhadap penyakit kusta memang mesti ditingkatkan. Namun, jangan menjauhi penderitanya. Apalagi, jika sudah diobati, sekali minum obat sudah menekan 60 persen bakteri. Dan setelah 13 hari minum obat, hampir seluruh bakteri bisa ditekan. (Pd/Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait