Batik Tiga Negeri, Kisah Filosofis Harmoni Indah Tiga Budaya

  • 20 Mar
  • bidang ikp
  • No Comments

Rembang – Lasem adalah salah satu daerah di Rembang yang kaya budaya. Kekayaan serta harmoni budaya ini tergambar indah dalam selembar Batik Lasem yang banyak mengilustrasikan kehidupan damai sehari-hari antaretnis.

Salah satu jenis batik paling tersohor dari Lasem adalah batik tiga negeri. Ketika pertama kali mendengar, mungkin tidak banyak orang yang langsung memahami apa makna dibalik nama ini.

Pemiliki Dampo Awang Batik Art sekaligus ketua Komunitas Pembatik Khas Lasem Ma’shum Ahadi, menyampaikan batik tiga negeri adalah batik hasil akulturasi tiga budaya. Warna merahnya berasal dari kebudayaan Tionghoa, warna birunya merupakan pengaruh dari budaya Belanda, sedang warna coklatnya berasal dari budaya Mataraman. Dengan demikian batik tiga negeri tidak sekadar sebuah corak atau motif, melainkan suatu budaya khas Lasem yang masih terjaga sampai sekarang.

Kala itu, tutur Ma’shum, dalam proses pembuatan batik tiga negeri, satu warna tidak bisa diproduksi di satu tempat. Pengrajin pun memiliki kepercayaan bahwa setiap daerah memiliki spesifikasi warna sendiri-sendiri karena kandungan mineral dalam air yang berbeda beda.

Lasem yang kental dengan budaya Tionghoa terkenal akan warna merahnya yang disebut sebagai getih pitik atau darah ayam. Untuk mendapat warna biru, pembatik harus ke pekalongan. Sedang untuk warna kecoklatan, batik dikirim ke daerah Solo untuk mendapatkan warna sogan khas budaya Mataraman.

Bermula dari sinilah distribusi warna terjadi dan ikut menjadi narasi sejarah batik tiga negeri. Proses perpindahan tersebut memengaruhi motif yang terdapat di batik tiga negeri yang masing-masing mencerminkan kebudayaan setempat. Tak heran, batik jenis ini tergolong batik dengan harga yang cukup mahal. Namun jangan salah, terdapat kedalaman nilai filosofis-historis yang tertuang kuat dalam budaya batik tiga negeri.

Ma’shum mengakui, geliat pertumbuhan batik di Lasem belum sepopuler di Pekalongan atau Solo. Pasalnya, sampai 2005, hampir keseluruhan pengusaha batik di Lasem berasal dari etnis Tionghoa. Sementara etnis pribumi kebanyakan menjadi pembatik buruh. Etnis Tionghoa dikenal enggan membagi ilmunya ke orang lain sehingga geliat pertumbuhannya tidak bisa meningkat dengan cepat seperti halnya batik Solo, Pekalongan, dan Banyumas. Melihat kondisi tersebut, pada 2005, Ma’shum akhirnya memberanikan diri merintis usaha batik sendiri setelah mengikuti pelatihan pewarnaan yang diadakan oleh Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Provinsi Jawa Tengah.

Tidak memiliki latar belakang sebagai pembatik, langkah awal pria tersebut tidak bisa dibilang mudah. Saat itu industri batik dinilai tidak menguntungkan dan tidak bisa bertahan lama karena adanya ketimpangan antara biaya produksi, keuntungan, dan upah yang diterima pekerja. Mengajak generasi tua untuk bekerja bersama juga tidak mudah karena mereka tidak bisa keluar dari pusaran usaha batik etnis Tionghoa.

Ma’shum akhirnya mengajak anak-anak muda yang mayoritas berasal dari keluarga pembatik dan memiliki keahlian memainkan canting untuk ikut dalam usahanya. Meski awalnya sulit, langkah ini merupakan salah satu usaha nyata untuk regenerasi batik Lasem di masa mendatang.

Pada 2009, Pemerintah Kabupaten Rembang sangat serius menggarap potensi batik Lasem. Bupati kala itu, Moch Salim, bahkan memasukkan batik Lasem dalam kurikulum sekolah hingga tingkat menengah sebagai mata pelajaran muatan lokal, yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan di Rembang. Pada saat itu desa wisata batik juga mulai dicanangkan membentang dari Desa Babagan hingga Desa Jeruk yang memang sudah lama terkenal sebagai sentra pembuatan batik Lasem.

Kini di Komunitas Batik Lasem sudah memiliki sekitar 80 orang pembatik. Batik Lasem yang dulunya tertinggal lambat laun mulai populer di masyarakat berkat inovasi produk dan ketelatenan serta usaha keras para perajin.

“Batik adalah urat nadi kehidupan saya. Berkat batik saya terlahir menjadi manusia yang baru. Saya kira tidak ada satu hal pun di dunia ini yang terasa sulit asal kita konsisten dengan apa yang kita lakukan,” tandasnya. (Me/ Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait