Anak Bukan Hadiah

  • 02 Dec
  • bidang ikp
  • No Comments

Semarang – Sebagian orang menganggap anak sebagai hadiah dari Sang Pencipta. Ironisnya, terkadang ada yang membiarkan “hadiah” itu hidup mengalir tanpa arah.

Praktisi kesehatan sekaligus motivator dari Bandung dr Maria Widhowati menekankan, anak bukan hadiah, bukan pula untuk lucu-lucuan maupun simbol tanda jadi. Anak merupakan pusaka milik Tuhan yang dititipkan kepada manusia untuk dilepaskan sebagai anak panah.

“Anak adalah anugerah. Anak adalah kepercayaan. Dan anak adalah tanggung jawab. Mereka harus dipersiapkan menjadi generasi emas,” bebernya, pada acara Women Gathering bertajuk “Women and Her Role” (Wanita dan Perannya), di Wisma Perdamaian, Sabtu (1/12).

Ditambahkan, generasi emas tak hanya pandai secara otak, melainkan juga pandai dan cerdas secara emosi maupun sosial. Anak menjadi generasi pemenang jika dia pandai bergaul, bisa hidup bersama, damai dengan lingkungan meski berbeda suku, agama, latar belakang. Mereka juga mesti mengetahui tujuan hidup, mampu merencanakan dan semangat mengembangkan potensinya.

Siapa yang bertanggung jawab mendidik anak? Maria menyampaikan hal itu menjadi tugas kedua orang tuanya. Namun, dia tak menampik jika peran ibu cukup besar, mengingat ibu multitasking. Tak sekadar mengasuh tapi juga mengasah.

“Ibu adalah pendidik, pemberi motivasi, pendoa, dan sahabat. Persiapkan anak dengan mengenalkan Tuhan, membekali dengan pendidikan dan kecakapan khusus agar punya daya saing global. Yang paling penting, jaga kondusivitas keluarga karena anak di lingkungan aman akan jadi anak yang bisa mengontrol emosi secara benar,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Tengah Hj Atikoh Ganjar Pranowo menyampaikan, pengasuhan anak dimulai sejak 1.000 hari pertama kehidupannya. Artinya, sejak dari kandungan, orang tua mesti memperhatikan tumbuh kembangnya, termasuk memperhatikan asupan gizi agar anak terhindar dari stunting (kekerdilan). Sebab, stunting tidak hanya berpengaruh pada gangguan pertumbuhan fisik, tapi jua kesehatan dan produktivitas.

Diakui, banyaknya makanan instan berpengaruh terhadap pola makan masyarakat. Akibatnya, tak sedikit anak yang lebih suka mengonsumsi makanan instan, yang kurang serat, vitamin, dan zat gizi lainnya.

“Masyarakat lebih memikirkan yang penting kenyang. Anak-anak tidak dibekali makanan, sehingga sampai sekolah, di kantin sarapan nasi, mi, atau malah nasi lauk mi. Bagaimana tidak diabetes kalau begini terus. Saya pernah melihat ibu-ibu memberi bakso pada anaknya yang belum berusia satu tahun, hanya yang penting kenyang,” sorotnya ibu satu anak ini.

Agar kebutuhan gizi anak tercukupi dan terhindar dari stunting, Atikoh meminta agar para ibu terus memperhatikan asupan anaknya. Perbaiki pola makan mulai dari rumah. Jika anak terbiasa makan sehat di rumah, maka dia tidak akan mau makan “sampah” (junk food) di sekolah.

“Pendampingan ketika makan dengan anak bisa mempengaruhi pola makan anak. Orang tua dapat sambil mengedukasi, mana makanan yang bergizi, dan mengerti apa makanan yang disukai anak. Ini juga yang dinamakan politik meja makan, di meja makan semua bisa dirembuk dengan baik,” tandasnya. (Ul, Diskominfo Jateng)

Berita Terkait