Situs Liyangan Akan Dijadikan Cagar Budaya Nasional

  • 02 Aug
  • yandip prov jateng
  • No Comments

 

 

TEMANGGUNG – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek RI), berencana akan menjadikan Situs Liyangan sebagai bagian dari Cagar Budaya Nasional. Keberadaan situs peninggalan era Mataram Kuno Liyangan, di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung itu, dianggap paling lengkap, baik dari segi peninggalan arkeologi, maupun dari sisi peradabannya.

Hal tersebut disampaikan arkeolog senior Kemendikbudristek RI Junus Satrio Atmodjo, yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, saat mengunjungi Liyangan, Selasa (1/8/2023). Ia dan timnya mendapatkan tugas khusus dari Kementerian untuk mempersiapkan Situs Liyangan naik level nasional.

Menurut Junus, situs peninggalan kerajaan Mataram Kuno itu memiliki nilai penting, dan dari kompleks tersebut ada informasi yang sangat berharga. Yang dimaksud berharganya, bukan dari apa yang dilihat sekarang, di mana ada peninggalan teras batu, sisa candi, tapi ada peradaban di baliknya.

“Mengapa daerah ini dipilih menjadi daerah suci, daerah keagamaan, sampai akhirnya orang di abad 8-9 Masehi membangun kompleks ini. Tentunya mereka punya alasan kuat, dikaitkan sistem kepercayaan yang waktu itu sedang berlangsung, terutama agama Hindu yang sifatnya adalah pemujaan Dewa Syiwa,” bebernya.

Ditambahkan, bukti adanya pemujaan Dewa Syiwa, dengan ditemukannya lingga dan yoni, kemudian adanya Arca Nandi. Selain itu, kemajuan peradaban di Liyangan juga bisa dilihat dengan ditemukannya keramik dari Cina era Dinasti Tang sekitar abad 8-9 Masehi, serta penemuan pecahan kaca yang kemungkinan berasal dari Timur Tengah (Persia dan Arab).

“Dibalik itu semua, kita menggambarkan peradaban orang Jawa, yang selalu digambarkan dengan Borobudur, Prambanan, itu di daerah dataran rendah yang kaya dengan padi, daerah subur, orangnya banyak bisa bikin bangunan besar. Nah, kok di sini (Liyangan) kita temukan juga sisa-sisa dari bangunan besar dari satu kompleks besar. Artinya, dulu penduduknya banyak, dan dari temuan-temuan sejauh ini ada hubungan kuat dengan Cina, Timur Tengah,” jelasnya.

Junus menuturkan, pihaknya memunyai bukti keterkaitan itu, yakni dengan ditemukannya kapal dari Arab yang tenggelam di perairan Belitung Barat. Diketahui, kapal itu membawa barang-barang dagangan dari Cina dan barang-barang lokal (nusantara). Dari data kemudian digabungkan mulai dari tenggelamnya kapal dengan barang-barang yang sama di Borobudur dan Prambanan pada masa itu.

Hal tersebut, ungkapnya, membuktikan saat itu sudah ada hubungan penduduk di daerah pegunungan, dengan dunia maritim luar, sehingga sangat menarik bagi kajian arkeologi dan sejarah. Tak kalah menarik, juga bagaimana peran para pendeta mengawal pertumbuhan agama Hindu-Buddha dari sisi keagamaan, bahkan menjadi pertanyaan, apakah mereka orang India atau orang Jawa yang telah memeluk agama Hindu-Buddha.

Dari sisi arkeologi, terang Junus, jika melihat struktur kompleks ini punden berundak sebetulnya, beda konsepnya dengan Borobudur dan Prambanan, di mana ada bangunan tinggi besar dikelilingi pagar-pagar berbentuk persegi. Sementara, di tempat itu undak-undakan, sebenarnya konsep prasejarah yang dipertahankan.

“Dan kita bisa lihat sisanya tidak ada candi besar, candinya kecil-kecil, arca seperti di Prambanan juga tidak ada. Di sini yang lebih utama pemujaan pada nenek moyang, ini hipotesis saya, itu sebabnya peletakan di daerah pegunungan (punden berundak) karena puncak gunung dianggap sebagai tempat tinggal nenek moyang dan ketemu juga dari sisi mitologi Hindu-Buddha, puncak gunung itu kerajaan Dewa Indra penguasa gunung dan surga. Dibayangkan surganya ada di sana,” jelasnya.

Saat ini, pihaknya sedang melakukan pengukuran wilayah arkeologi, dengan pengumpulan data, pemotretan menggunakan drone, lapisan geologi paling bawah, dicek batas dari daerah yang akan diusulkan sebagai cagar budaya nasional. Selanjutnya, akan dipilah mana yang akan dikonservasi, termasuk sebaran, hingga memproteksi batas-batasnya, seperti sungai, batas jalan dan lain sebagainya.

Adapun untuk luas lahan nantinya, terang Junus, bisa berubah tergantung penemuan hal penting, data baru, dan yang lebih penting, saat ini memproteksi agar Temanggung memiliki sebuah kekayaan yang secara nasional diakui dan dikelola bersama.

“Tugas saya mengawal ini, mengumpulkan materi untuk sidang. Kita ingin membangkitkan kesadaran pentingnya situs ini, kembalinya pada Temanggung, kita bantu bersama-sama. Bahan kita kumpulkan untuk dikaji Tim Cagar Budaya Nasional,” pungkasnya.

 

Penulis : MC.TMG/ary;ekp

Editor: Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait