Portal Berita
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
SEJARAH LITERASI BERAWAL DARI KOTA UKIR
- 18 Sep
- dev_yandip prov jateng
- No Comments

JEPARA – Akademisi dan notulen Indonesia Lawak Klub (ILK) di salah satu stasiun swasta Maman Suherman selama dua hari, 16 dan 17 September 2017 hadir di Jepara. Dirinya menghadiri Festival Literasi Jepara (FLJ) yang baru kali pertama digelar di Kota Ukir. Salah satu pertemuannya dengan Wakil Bupati Jepara Dian Kristiandi dan komunitas literasi di seluruh desa yaitu dalam rangka memperingati haul ke-113 R.Ay.A.A. Kartini Djojoadiningrat, Sabtu (16/09/2017) malam.
Hadir juga Wakil Bupati (Wabup) Dian Kristiandi, pembicara perdamaian Pendeta (Pdt) Danang Kustiawan dan tokoh seni dari Rumah Kartini Apeep Qimo. Dalam pertemuan itu disepakati akan diterbitkan buku Kartini melalui banyak literasi dan diskusi. Dengan harapan buku ini mampu menjadi rujukan sejarah Kartini.
Maman Suherman mengaku ketika diundang ke Jepara berbicara literasi langsung siap. Salah satu alasannya sejarah literasi berawal dari Jepara, yaitu RA. Kartini. “Alangkah sedihnya Festival Literasi Jepara (FLJ) baru kali pertama dilaksanakan di Jepara. Padahal, DNA literasi Indonesia ada di sini (Jepara –pen) kok. Pada 1900 masyarakat Jepara diajarkan Iqra’ oleh RA. Kartini, yang tahu betul kondisi bangsanya yang kemudian dituangkan dalam surat-suratnya,” jelas Maman Suherman di hadapan para peserta FLJ di Pendapa Alit Rumah Dinas Wakil Bupati, pada malam itu.
Maman mengungkapkan, pada rezim orde baru beberapa kalangan meragukan kepahlawanan RA. Kartini. Saat itu pahlawan didevinisikan sebagai orang yang ikut berperang dalam medan perang. “Devinisi berubah setelah reformasi yaitu siapa saja yang mampu membuat negaranya bercahaya. Sebagaimana surat Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang,” tegasnya.
Sebagai buktinya, tujuh tahun setelah wafatnya Kartini negara penjajah Belanda terenyuh dengan surat-surat Kartini. Surat-surat Kartini ini sampai di parlemen Belanda saat itu. Maka munculah politik etis. “berkat surat-surat yang dikirim Kartini itu, Belanda lakukan politik etis atau membuat lebih layak terhadap negara yang dijajahnya yaitu Bumiputra (Indonesia),” jelasnya.
Maman Suherman mengungkapkan kesediahannya, sebagai negara yang memiliki pahwalan emansipasi perempuan kekerasan terhadap kaum perempuan masih tinggi di Indonesia. Yaitu setiap 24 jam ada 25 kekerasan perempuan. Sebanyak 20 di antaranya diperkosa. “Mana emansipasi perempuan? Ada tokoh Kartini saja masih seperti ini. Apalagi kalau tak ada. Yang mengglitik di benak saya, ketika satu dolar naik Rp 17 ribu, mengapa kita bingung luar biasa. Tapi ketika ada kekerasan perempuan, mengapa kita tenang. Kita buta dan tuli terhadap apa yang kita perjuangkan,” jelasnya.
Dian Kristiandi mendukung keberadaan Festival Literasi Jepara. Dia pun sepakat agar diterbitkan buku Kartini. Penerbitan ini harus melalui diskusi rutin dan beragam sumber. “Saya termasuk orang yang jarang baca. Karena itu, mulai sekarang melalui diskusi ini saya bersama teman-teman perbanyak membaca. Iqra,” ungkapnya. (DiskominfoJepara|AchPr)