MENCARI ‘OBAT’ ROB KE NEGERI BELANDA

  • 10 Apr
  • dev_yandip prov jateng
  • No Comments

KOTA PEKALONGAN – Bencana rob yang melanda pesisir Kota Pekalongan dalam beberapa tahun terakhir telah membuat beberapa kelurahan selalu tergenang air.  ‘Penderitaan ‘ dan kerugian warga terdampak nyaris  tidak bisa dihitung.  Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan telah berusaha dengan segala daya berupaya mencari cara untuk menanggulanginya.  Diantaranya dengan menggalang kerjasama dengan berbagai pihak. Termasuk dengan negeri Belanda, yang sudah terkenal dalam pengelolaan masalah air.

Terkait dengan penanggulangan rob itu, Walikota Pekalongan Alf Arslan Djunaid beberapa waktu lalu mengunjungi  Roterdam dan Volendam , dua buah kota di negeri yang juga terkenal dengan kincir anginnya itu. Selain itu,   pria yang akrab disapa dengan Alex tersebut juga berkesempatan melihat-lihat Afsluitdijk.  Afsluitdijk adalah bendungan laut besar yang membentang sepanjang 32 km dan lebarnya 90 m.  Bendungan ini dirancang mulai 4 Januari 1886 oleh Cornelis Lely dan baru dipublikasikan pada tahun 1891.

Pilihan ke Negeri Belanda guna menanggulangi rob yang sudah menyengsarakan warga ini tentu saja bukan tanpa pertimbangan. Topografi Kota Pekalongan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0-6 meter di atas permukaan air laut dan kemiringannya hanya 0-8 %.  Di beberapa lokasi yang terletak di Kelurahan Padukuhan Kraton (wilayah Pabean), Pasirkratonkramat (wilayah Pasirsari dan sebagian Kramatsari), Bandengan, Kandang Panjang, dan Panjang Baru kondisinya lebih ekstreem karena sebagian wilayah tersebut berada di bawah permukaan air laut.  Dengan kondisi ini, tentu saja menjadi masalah dan tantangan besar bersama antara Pemerintah dengan Masyarakat Kota Pekalongan untuk dapat mengatasi banjir rob dan genangan yang sekarang ini sudah menjadi masalah keseharian.

Data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Kota Pekalongan mengalami penurunan tanah (land subsidence) kurang lebih 3 cm per tahun (LAPAN, 2013).  Artinya, pada tahun 2023 akan lebih rendah lagi 30 cm, dan seterusnya.  Dengan demikian, apabila tidak diantisipasi dari sekarang, maka dapat dibayangkan, Kota Pekalongan akan tenggelam secara perlahan. “Meski tidak persis sama, namun kondisi ini ada kemiripan dengan Belanda yang salah satu wilayahnya  berada 7 meter dibawah permukaan air laut,” ujar Alex.

Menurut Alex,  Belanda dengan badan pengelola airnya (Dutch Water Board), telah memiliki pengalaman selama hampir 850 tahun mengatasi masalah tersebut.  Salah satu dari Dutch Water Board adalah Hoogheemraadschap van de Schieland end de Krimpenerwaard (HHSK) yaitu Badan Pengelola Air di wilayah Schieland dan Krimpenerwaard.  “Terdapat 3 hal utama yang menjadi konsentrasi lembaga tersebut, yaitu pengendalian banjir (pengelolaan bendungan), pengendalian air permukaan, pengendalian kualitas air dan pengelolaan air limbah, serta pengelolaan sebagian jalan, khususnya ada di sekitar bendungan, “ katanya.

Dari pembicaran yang sudah dilaksanakan beberapa kali di Kota Pekalongan, konsultasi ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, serta ditindaklanjuti dengan pembicaraan di Rotterdam, Belanda, maka dilaksanakan penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Kota Pekalongan dengan pimpinan HHSK yang mewakili Kerajaan Belanda, pada hari Rabu, 5 April 2017 di gedung HHSK, Rotterdam, Belanda.

Point-point penting yang akan menjadi bagian dari LoI tersebut adalah pendampingan dalam komunikasi dengan masyarakat, pendampingan dalam pembentukan dan pengembangan lembaga pengelola banjir dan rob dan pendampingan dalam riset dan teknis konstruksi. Selain itu juga  pendampingan dalam pembuatan regulasi dan Pendampingan dalam penghitungan perkiraan kebutuhan anggaran, serta  pemberian pelatihan bagi calon tenaga ahli/pengelola penanganan banjir dan rob (dikes maintenance and water management).

 Penanganan genangan banjir dan rob tidak hanya terkait dengan permasalahan fisik, tetapi juga permasalahan sosial ekonomi.  Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa penduduk yang berada pada wilayah-wilayah genangan juga harus diberikan kesempatan yang sama untuk berusaha dan bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Terkait hal ini alex mencontohkan kehidupan di Kota Volendam yang dikunjunginya. Menurutnya  Volendam adalah salah satu permukiman yang mirip dengan desa yang ada di wilayah Belanda Utara.  Permukiman di Volendam sangat teratur dengan bangunan yang seragam berupa dinding bata merah.  Dalam satu blok dapat terdiri dari 5 sampai 10 rumah deret yang saling tersambung dindingnya.

 Tiap rumah memiliki teras yang tanpa atap dengan meja dan kursi untuk bersantai di taman dan juga parkir sepeda.  Panjang muka rumah hanya sekitar 5 – 6 meter.  Terdapat variasi penghuni atas satu bangunan rumah.  Ada yang dengan satu keluarga, namun juga ada yang sampai 6 keluarga untuk bangunan rumah yang memiliki ukuran lebih luas dan sampai 3 lantai.

Di antara blok-blok rumah terdapat jalan setapak yang hanya dilalui dengan berjalan kaki.  Tempat parkir kendaraan roda empat berada relatif jauh dari bibir pantai.  Di antara tempat parkir tersebut, terdapat satu tempat parkir yang berada di bawah tanah dengan bangunan rumah yang kokoh berada di atasnya.

Pantai sebagai tujuan wisata tidak terlalu kelihatan dari jalan karena tertutup oleh bangunan rumah.  Pantai di Volendam ditutup tanggul yang kemudian berfungsi sebagai jalan dengan lebar + 5 – 6 meter. Sebagian besar pengunjung berjalan kaki atau naik sepeda di jalan yang berada sekitar 5 meter di atas permukaan air laut.  Para pengunjung harus naik tangga atau melalui jalan menanjak untuk sampai ke jalan pinggir pantai yang berfungsi sebagai tanggul tersebut.  Toko yang memiliki bangunan seragam tersebut diatur dengan urutan yang tetap dan berulang, mulai dari restauran, souvenir, dan foto kostum.

Kondisi jalan sangat bersih dari sampah.  Orang banyak makan di pinggir jalan sambil menikmati cahaya matahari, tetapi kemudian akan membuang bungkus atau sisa makanannya di tempat sampah.  Pelayanan toko sangat ramah.  Komunikasi dengan Bahasa Inggris akan memudahkan pengunjung untuk membeli souvenir, makan atau minum, atau juga berfoto dengan memakai kostum penduduk asli Volendam. “Gambaran ini sangat menginspirasi bagaimana kehidupan ekonomi juga menjadi bagian yang harus ditata dalam perencanaan penanganan banjir dan rob,” tambah Alex.

Di Afsluitdijk Alex menemukan  tiga hal yang cukup menarik. Diantaranya pembagian kewajiban antara Pemerintah dan Masyarakat.  Penanganan banjir tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah atau badan pengelola air, tetapi juga oleh masyarakat.  Sebagai contoh :  Badan Pengelola Air Belanda (Dutch Water) membagi saluran ke dalam 2 kategori.  Kategori pertama adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul aliran air dari rumah-rumah penduduk.  Saluran ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban warga untuk memelihara.  Apabila terdapat penyumbatan, maka ini menjadi beban warga untuk membersihkannya.  Sementara kategori kedua adalah saluran yang mengalirkan dari saluran pengumpul ke sub polder.  Saluran ini menjadi tanggung jawab Badan Pengelola Air.  Aturan pembagian kewajiban dan tanggung jawab ini diatur secara jelas dan disetujui bersama.

Yang kedua adalah Pembuatan aturan bersama itu sendiri.  Pembuatan aturan bersama dilakukan melalui diskusi yang panjang, mulai dari memahamkan kepada warga atas bencana dan resiko yang akan terjadi jika tidak ditangani bersama, sampai dengan aturan itu disepakati.  Dalam diskusi tersebut, antara lain dipastikan tentang Pemerintah atau Badan Pengelola Air berbuat apa, dan masyarakat berbuat apa.  Ini penting karena akan jelas siapa berkewajiban tentang apa.

Ketiga, adalah Sosialisasi dan edukasi secara kuat kepada masyarakat.  Banjir rob adalah peristiwa alam yang harus dipahami bersama.  Masyarakat harus betul-betul memahami tentang apa yang sedang terjadi sekarang dan yang akan terjadi di tahun-tahun yang akan datang.  Masyarakat juga harus tahu tentang upaya-upaya yang sedang dan akan dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Pengelola Ai,” papar Alex lagi.

Tentu saja sebelum melakukan berkiblat ke Belanda,Pemkot  Pekalongan sudah melakukan sejumlah langkah dan upaya. Salah satu upaya yang akan dilakukan pada tahun 2017 ini adalah pembangunan tanggul sepanjang 2,5 km mulai dari Kelurahan Kandang Panjang sampai dengan Kelurahan Bandengan. “ Tanggul ini diharapkan akan melindungi sebagian besar wilayah yang merupakan satu subsistem dengan wilayah tersebut, .” tegas Alex.

  Kemudian di beberapa titik akan dibangun rumah pompa.  Secara teknis, apabila sudah dapat menurunkan ketinggian air di wilayah tersebut, maka akan dilanjutkan dengan peningkatan kualitas drainase sehingga akan dapat mengalirkan air, baik yang selama ini menggenangi permukiman penduduk di sekitar wilayah tersebut ataupun yang menjadi satu kesatuan sistem aliran menuju ke wilayah tersebut.

“Apakah dengan upaya ini akan selesai ? Tentu saja tidak.  Selain masih menyisakan wilayah lain yang juga harus ditangani, Kota Pekalongan juga memiliki masalah lain yang apabila tidak ditangani bersama, maka akan berakibat pada Pemerintah dan Masyarakat Kota Pekalongan sendiri,” tegasnya lagi.

Masalah – masalah itu antara lain adalah sampah, tingginya endapan sungai atau saluran dan penurunan tanah serta pemenuhan air bersih. “Dilematika ini harus diatasi dengan baik, diatasi bersama, dan melalui koordinasi yang melembaga secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan,” pungkas Alex lagi.

Jadi masalah rob sejatinya bukan masalah pemerintah atau warga yang menjadi korban air yang masuk dari laut ini. Tapi warga. Butuh keterlibatan semua pihak untuk mengatasinya. (Dinkominfo Kota Pekalongan)

 

Berita Terkait