GURU DIHIMBAU IKUT LESTARIKAN BAHASA JAWA

  • 20 Feb
  • yandip prov jateng
  • No Comments

JEPARA- Guru SD di Jepara dihimbau tidak meninggalkan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Himbauan ini disampaikan Kepala Bidang SD pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Jepara, Amin Ayahudi, terkait semakin banyaknya warga Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa.
“Di kalangan guru sekalipun, semakin banyak yang tidak menggunakan bahasa Jawa,” kata Amin saat ditemui wartawan di kantornya, Senin (20/2).  Padahal, guru adalah tempat untuk anak-anak belajar.
Menurut Amin, pentingnya guru bisa berbahasa Jawa terkait fungsi sekolah sebagai pusat kebudayaan. Apapun yang ada di masyarakat, katanya, dipelajari di sekolah. Selain itu, penggunaan bahasa jawa juga dimaksudkan untuk mendorong agar Kurikulum 2013 betul-betul bisa dilaksanakan.
“Karena kurikulum ini mengamanatkan pembentukan karakter anak yang tentu penting juga dilakukan melalui percakapan bahasa Jawa,” lanjut dia.
Amin berpesan, jangan sampai seorang guru justru tertinggal dari orang tua murid yang masih mengajarkan bahasa Jawa di rumah. “Kalau gurunya malah tidak bisa lalu bagaimana? Atau sebaliknya, jika selama di rumah handphone dan televisi menjauhkan anak-anak dari bahasa Jawa, maka sekolah menjadi satu-satunya tempat bagi mereka untuk belajar,” ulasnya.
Pada beberapa forum pertemuan dengan guru, Amin mengaku kerap menyampaikan keprihatinan atas semakin sedikitnya guru yang bisa berbahasa Jawa. Ternyata, kata dia, para guru tidak menampik fakta tersebut. Amin khawatir bahasa ini semakin terpinggirkan. Demikian pula dengan produk budaya Jawa yang lain.
Dalam pandangan Amin, banyak faktor yang memengaruhi ditinggalkannya bahasa Jawa. Menjadikan tata bahasa daerah tertentu sebagai patokan nilai benar dan salah, dia nilai justru menyulitkan orang yang ingin berbahasa Jawa.
“Ada sementara orang yang beranggapan bahwa bahasa Jawa harus selalu mengikuti tata bahasa Solo dan Jogjakarta,” kata dia.
Amin mendukung jika tata bahasa daerah tersebut dijadikan referensi dan tempat ngangsu kawruh. Namun dia meminta dialek, kosakata, dan kenyataan lokal juga dilihat sebagai sebuah kenyataan.
“Jika ada bahasa Jawa ala Solo-Jogjakarta, maka ada pula Jawa Ngapak Banyumasan, Jawa Timuran, juga bahasa Jawa pesisiran. Jadi jangan dipaksa harus berpatron Solo-Jogja. Dengan demikian, menggunakan bahasa Jawa dalam dialog keseharian akan lebih mudah,” tambahnya.
Di lingkungan satuan pendidikan, Amin mencontohkan komunikasi antarguru. “Misalnya ada guru pamitan ‘kula kondur riyin geh’. Bisa jadi ada yang menjawab ‘kula ganjel kersane mboten kondur’. Iya, sih, yang menjawab itu bermaksud mengingatkan bahwa kata kondur itu krama inggil yang tidak tepat digunakan untuk diri sendiri. Harusnya krama inggil, kan, ditujukan kepada orang yang lebih dihormati. Tapi kalau kalimat seperti ini disalahkan, orang akan memilih aman saja. Dia akan lebih memilih menggunakan bahasa Indoensia,” urainya.
Amin memandang, yang terpenting bahasa Jawa digunakan terlebih dahulu dengan segala bentuk lokal yang ada. Dengan demikian, setiap guru bisa mengajak muridnya melestarikan bahasa ini.
“Bahkan dalam pembuatan soal Bahasa Jawa pun, saya juga menghimbau untuk berani memasukkan kosakata dan dialek Jepara,” tambahnya.
Sesuai tupoksinya di Bidang SD, saat ini Amin sedang menyusun konsep kurikulum penggerak penggunaan bahasa Jawa di SD. (Sulismanto)

Berita Terkait