Maggot pun Naik Kelas Jadi Sereal dan Bahan Produk Kecantikan

  • 11 Mar
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Budidaya maggot atau belatung dari lalat jenis black soldier fly untuk pakan alternatif ternak, sekaligus meminimalkan sampah organik, terus meluas di sejumlah wilayah di Jawa Tengah. Apalagi nilai ekonomisnya sangat menjanjikan.

Lihat saja yang dipamerkan saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) wilayah Kedungsapur, di Kawasan Kota Lama Semarang, Rabu (11/3/2020). Stand Kota Salatiga membawa aneka produk maggot, mulai yang masih hidup, kering, pupuk, maupun minyak. Mereka juga membuka peluang bagi pengunjung yang hendak mencari tahu mengenai cara membudayakan maggot.

Pemrakarsa budidaya maggot Kota Salatiga dari Black Soldier Fly Indonesia Raya, Yeka Johar mengungkapkan, awalnya budidaya maggot dilakukan karena keprihatinan melihat banyaknya sampah organik yang belum terolah. Akibatnya, sampah yang membusuk itu justru membuat lingkungan kotor, bau, dan menyebabkan penyakit.

Kemudian, dia mulai mengamati karakter lalat BSF, yang ternyata hanya hidup di buah nangka yang mengandung alkohol, bukan di daging atau bangkai. Dari riset yang dilakukan di ITB, diketahui maggot memiliki protein tinggi.

“Kami ujicobakan pada ayam, ikan, bebek, dan telurnya itu kuningnya dua. Maggot juga membuat ikan lele cepat besar, ikan hias berwarna lebih cerah. Ini bisa menghemat pakan ternak hingga 50 persen. Bahkan jika untuk pupuk, daun tanaman bisa lebih bagus,” bebernya.

Yeka menjelaskan, bahan media maggot berupa buha dan sayuran diperoleh dari pasar, supermarket, dan hotel di Salatiga. Proses pembudidayaannya pun relatif cepat. Dari lalat bertelur sampai dewasa siap dipanen hanya 11-15 hari. Setiap hari pihaknya sudah melayani pesanan satu ton maggot untuk pakan lele. Maggot basah dijual Rp10 ribu per kilogram.

Selain basah, maggot juga diolah menjadi kering, pupuk, dan minyak. Maggot kering dan pupuk dijual dalam kemasan kecil seharga kisaran Rp5.000 hingga Rp50.000 per kemasan. Maggot juga naik kelas saat diolah menjadi untuk minyak, karena harganya mencapai Rp1,5 juta per 100 mililiter.

“Minyak maggot ini dijual ke Jepang, untuk bahan produk kecantikan. Maggot kering juga bisa dikonsumsi manusia. Rasanya enak, proteinnya tinggi. Di Belanda untuk sereal, di Thailand tumis fresh maggot dijual Rp175 ribu satu piring kecil,” kata Yeka.

Usaha yang dirintis sejak 2017 bersama dua rekannya, yakni Arif Jatmiko dan Hijri Adi Ridwan, terus berkembang. Bahkan mereka telah membina 25 mitra di Salatiga, termasuk, Kelompok Wanita Tani Sugihwaras

“Pemerintah melalui Menteri Pertanian sudah perdana mengekspor 30 ton maggot kering ke Inggris. Menteri Kelautan dan Perikanan juga mencanangkan maggot sebagai alternatif pakan organik dengan nutrisi dan nilai ekonomi yang tinggi. Makanya, daripada sampah organik dibuang begitu saja, mending kita manfaatkan untuk budidaya maggot. Hasilnya pun menjanjikan,” terangnya.

Selain maggot, sejumlah inovasi juga ditampilkan pada pameran tersebut. Seperti inovasi dari SMK Negeri 7 Semarang, yakni robot semut, printer tiga dimensi, dan emergency power plan.

Ada pula mi tektek instan berbahan tepung mocav, dan mi tempe instan dari tepung tempe. Bahannya yang lebih sehat dan tidak mengandung MSG, membuat mi tersebut lebih sehat. Tulang ayam yang diolah menjadi aneka hiasan pun menarik minat pengunjung. (Ul, Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait