Nostalgia Sambil Nikmati Makanan Tradisional di Pasar Papringan Temanggung

  • 25 Feb
  • yandip prov jateng
  • No Comments

TEMANGGUNG – Minggu Pagi (23/2/2020), areal rumpun bambu atau biasa disebut sebagai papringan seluas 2.500 meter persegi di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah ramai dikunjungi orang. Angin yang bertiup lembut menggoyang rumpun bambu membuat suasana pagi menjadi lebih segar dan ceria.

Sesuai pasaran jawa, hari itu adalah Minggu Wage, tepat gelaran ‘Pasar Papringan’. Ya, Pasar Papringan memang digelar dua kali dalam sebulan, yakni tiap Minggu Wage dan Minggu Pon.

Ada pengunjung yang datang untuk duduk-duduk di batang pohon bambu besar, sembari menikmati es dawet, nasi megono, atau sekadar nyeruput kopi dan menikmati camilan. Ada pula yang bergerombol di bawah rumpun bambu untuk sekedar ngobrol dan menikmati makanan bersama keluarga dan rekan-rekannya. Banyak pula yang sibuk berswafoto dengan latar belakang rumpun bambu.

Pasar Papringan dibentuk dan dikelola oleh sekelompok anak muda Dusun Ngadiprono yang tergabung dalam Komunitas Mata Air, sebuah komunitas yang peduli pada upaya konservasi lingkungan. Namun mereka tidak sendiri dalam upaya konservasi rumpun bambu, mereka mendapat bantuan dan pendampingan dari pihak lain.

Adalah Singgih Kartono Susilo, warga Kecamatan Kandangan, Temanggung, bersama timnya dari Komunitas Spedagi, didaulat menjadi pendamping sekaligus konsultan bagi Komunitas Mata Air dalam mengelola Pasar Papringan. Sebelumnya, Singgih bersama timnya pernah membuat gelaran Pasar Papringan yang sama di desanya, Kandangan. Namun, diakui Singgih, gelaran Pasar Papringan di desanya tersebut hanya berlangsung selama sembilan kali gelaran dalam kurun waktu sekitar satu tahun.

Singgih menceritakan, semula Komunitas Mata Air memang memintanya agar didampingi membuat gelaran Pasar Papringan untuk memanfaatkan areal rumpun bambu di desa itu. Sebelumnya, sebagian area rumpun bambu digunakan sebagai lokasi pembuangan sampah.

“Kami mendampingi komunitas lokal mata air, anak-anak muda lokal yang masih sangat muda. Tapi mereka punya inisiatif. Mereka punya papringan yang bagus dan potensial,” bebernya.

Upaya pendampingan dilakukan sejak awal, dari proses penataan rumpun bambu, sosialisasi, memberikan edukasi pada warga Dusun Ngadiprono, menyeleksi bahan-bahan dan makanan yang akan dijual, hingga mengelola parkir.

Ide dasar gelaran Pasar Papringan ini, diakui Singgih, merupakan upaya untuk menghidupkan masa depan dalam masa lalu. Papringan ada dalam masa lalu warga desa yang saat ini sudah hampir ditinggalkan. Tempat yang semula dianggap kotor, bahkan membuat masyarakat merasa malu memilikinya. Pihaknya bertekad menemukan masa depan pada masa lalu tersebut.

Project Manager Pasar Papringan, Fransisca Callista, mengatakan, tiap kali gelaran Pasar Papringan ini selalu dikunjungi ribuan orang. Mereka tak hanya datang dari sekitar Kabupaten Temanggung saja. Banyak pula yang dari luar kota, seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Magelang.

Tak hanya pada Minggu Wage dan Minggu Pon areal kebun bambu itu ramai dikunjungi orang. Tiap hari Minggu diluar dua pasaran itu banyak warga Dusun Ngadiprono yang datang melakukan berbagai kegiatan. Antara lain kerja bakti membersihkan sampah dan daun-daun kering, juga menata kembali rumpun-rumpun bambu.

Imam Abdul Rofiq, Ketua Komunitas Mata Air, mengatakan, para pemuda desanya yang menyulap area pembuangan sampah itu dengan menata kebun bambu menjadi Pasar Papringan guna mengkonservasi rumpun bambu sekaligus menghidupkan wisata di desanya.

Ia menjelaskan, Pasar Papringan menempati areal seluas 2.500 meter persegi milik beberapa warga desa. Tiap pemilik lahan menerima uang sewa sebesar Rp 10.000 per pelapak per satu kali gelaran pasar. Sedikitnya, ada dua puluh pelapak di lokasi tersebut. Mereka semua adalah warga Dusun Ngadiprono.

“Barang kerajinan, sayuran, makanan dan minuman yang dijual di Pasar Papringan telah melalui proses seleksi, sehingga terjamin kualitasnya,” kata Imam.

Pembeli yang datang dan akan berbelanja mesti menukar uangnya dengan uang pring atau uang yang terbuat dari bambu. Pengunjung juga tidak boleh menggunakan bungkus dari plastik untuk barang-barang dan makanan yang dibelinya. Untuk itu, pihak panitia menyediakan keranjang dan besek atau wadah berbentuk kotak yang terbuat dari anyaman bambu.

“Hasil dari Pasar Papringan ini, 20 persennya dari retribusi masuk ke kas desa. Lainnya masuk ke kantong warga sendiri yang berjualan di Pasar Papringan,” tuturnya.

Yuliana (34), pedagang nasi megono mengaku merasakan manfaat ekonomi yang sama. Tiap kali gelaran, ia mendapat hasil sekitar Rp700 ribu hingga Rp800 ribu.

 

Penulis : Tosiani/ Ekape, Media Center Temanggung

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait