Portal Berita
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
Antisipasi Tuli, RSUD Tugurejo Periksa Karyawannya
- 01 Mar
- ikp
- No Comments

Semarang – Anda terbiasa menggunakan headset saat mengoperasikan gawai maupun komputer? Anda terbiasa bekerja di tempat dengan tingkat kebisingan tinggi? Atau Anda sering mengorek telinga? Waspadai, bisa-bisa pendengaran Anda terganggu karena aktivitas itu.
Direktur RSUD Tugurejo Semarang Endro Suprayitno mengungkapkan, kebiasaan menggunakan headset dalam waktu lama dengan suara keras, bisa berdampak pada penurunan pendengaran seseorang. Termasuk, jika bekerja pada tempat yang bising. Sayangnya, banyak yang tak menyadari risiko itu. Mereka baru tahu pendengarannya terganggu setelah sulit mendengar.
“Padahal kalau sudah terlambat dikhawatirkan bisa menjadi tuli permanen,” katanya, di sela-sela kegiatan Seminar dan Pencanangan Peduli Pendengaran “Deteksi Dini Gangguan Pendengaran” dalam Rangka Hari Pendengaran Sedunia, di Aula RSUD Tugurejo Semarang, Jumat (1/3/2019).
Ditambahkan, usia memang mempengaruhi kekuatan pendengaran seseorang. Namun, belakangan ini risiko berkurangnya pendengaran pada anak cenderung meningkat, terlebih sejak penggunaan headset semakin banyak .
Gangguan pendengaran dapat berdampak serius karena mengakibatkan ketulian. Selain itu, kurangnya pendengaran bisa mengganggu komunikasi, terutama di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Karenanya, deteksi dini gangguan pendengaran sangat diperlukan.
“Seperti yang dilakukan hari ini. Kami memeriksa sekitar 165 orang yang kebanyakan karyawan rumah sakit, khususnya yang bekerja di tempat bising. Seperti, laundry, gizi, dan lainnya. Ini bentuk perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kepada jajarannya,” tegas Endro.
Hal senada juga disampaikan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan RSUD Tugurejo Semarang Dina Permatasari. Menurutnya, pendengaran bisa diakibatkan banyak hal, seperti bawaan lahir karena perkembangan janin tak sempurna, penyakit telinga yang tidak disadari, infeksi saluran pernafasan atas, tinggal atau bekerja di lingkungan yang bising, misalnya di dekat bandara, rel kereta api, pabrik yang bising, maupun kebiasaan mengorek telinga.
“Gaya hidup juga mempengaruhi. Seperti, sering ke mal, tempat karaoke, penggunaan headset, maupun sering mengorek telinga,” terangnya.
Dina juga mengungkapkan banyaknya anak usia sekolah dasar yang berkurang pendengarannya karena telinga kotor yang tidak disadari. Orang tua merasa sudah membersihkan telinga anaknya setiap hari dengan menggunakan cotton buds atau korek telinga. Tapi, karena caranya tidak benar, justru hal itu membuat kotoran masuk lebih dalam.
“Akibatnya, kotoran jadi penuh. Itu yang mesti diwaspadai khususnya pada anak SD. Padahal sebenarnya kotoran telinga tidak usah diapa-apakan bisa keluar sendiri. Jadi, jangan mengorek telinga sendiri. Sebaiknya, enam bulan atau setahun sekali datang ke dokter THT, di rumah sakit atau puskesmas, untuk pembersihan telinga,” bebernya.
Sementara itu, Ari Trisna, staf bagian Gizi RSUD Tugurejo Semarang, merasa terbantu dengan pemeriksaan pendengaran gratis yang dilakukan di tempatnya bekerja. Apalagi, saat bekerja sehari-hari dia terpapar suara bising dari exhaust fan yang ada di dapur.
“Takut juga sih kalau pendengaran saya terganggu. Tapi, setelah diperiksa saya lega, pendengaran saya masih normal,” tandasnya. (Ul, Diskominfo Jateng)