“Hoax” Tak Terkait dengan Kebebasan Berpendapat

  • 06 Apr
  • Prov Jateng
  • No Comments

Semarang – Berita bombastis atau spektakuler masih mengundang perhatian dari masyarakat. Ironisnya, tidak sedikit warga yang percaya begitu saja terhadap informasi semacam itu, sehingga mengesampingkan kebenaran dan sumber beritanya.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jawa Tengah, Dadang Somantri, pada Seminar Nasional Hoax dan kebebasan Menyampaikan Pendapat, di Aula Lantai VI Fakultas Hukum Universitas Semarang, Kamis (6/4). Diakui, hoax atau berita yang mengandung kebohongan mudah menyebar, khususnya melalui media sosial. Terlebih, berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJIT) pada 2016, pengguna internet di Indonesia mencapai separuh jumlah penduduk, yakni 132,7 juta orang dari 256,2 juta orang penduduk.

Berdasarkan usia, imbuhnya, pengguna terbanyak adalah mereka yang berusia 25-34 tahun, di mana pada rentang usia tersebut, ada 75,8 persen pengguna internet. Peringkat kedua adalah usia 10-24 tahun dengan 75,5 persen pengguna internet. Selanjutnya usia 35-44 tahun (54,7 persen pengguna internet), usia 45-54 tahun (17,2 persen pengguna internet), dan usia 55 ke atas (dua persen pengguna internet).

“Kebanyakan dari masyarakat, yakni 63,1 juta atau 47,6 persen menggunakan gadget untuk mengakses internet. Mungkin karena dengan gadget bisa mengakses internet di mana saja kita berada,” beber Dadang.

Mantan Kepala Biro Perekonomian Setda Provinsi Jawa Tengah itu menyampaikan, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga 2016 lalu tercatat 773 ribu konten negatif diblokir. Kendati begitu, kemungkinan masih banyak konten lain yang belum terdeteksi. Karenanya, masyarakat diminta untuk mewaspadai konten yang tergolong negatif, termasuk yang mengandung pornografi dan SARA.

“Jika menemui hoax atau konten negatif, segera laporkan. Screen capture dan copy link-nya, kemudian email ke aduankonten@mail.kominfo.go.id. Kerahasiaan pelapor dijamin. Setelah diverifikasi dan diproses, cek aduan di web trustpositif.kominfo.go.id,” katanya.

Peran aktif masyarakat untuk memantau konten-konten negatif, tutur Dadang, memang diperlukan. Apalagi, dengan banyaknya konten yang bisa diakses masyarakat melalui berbagai media. Tidak hanya melaporkan, screening mulai dari diri sendiri mutlak dilakukan.

Begitu mendapat berita, jangan langsung di-share. Dianalisis dulu apakah berita itu benar atau tidak. Jika tidak atau belum pasti kebenarannya, jangan disebarkan. Kalau pun berita itu benar, pastikan berita itu bermanfaat sebelum disebarkan.

“Awali dari keluarga dan tanamkan pada anak-anak kita agar bijak menggunakan jempol, tidak sembarangan memencet keyboard. Pemerintah tidak mungkin bisa mengontrol seluruh media sosial karena arus informasi sekarang ini sudah person to person. Tapi, kita terus berupaya melakukan pengawasan, bekerja sama dengan sejumlah pihak. Kami punya forum sandi yang di dalamnya ada pihak kepolisian dan kejaksaan,” urai Dadang.

Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr Chairul Huda SH MH, menambahkan, hoax tidak ada kaitannya dengan kebebasan berpendapat yang dijamin Undang-undang Dasar 1945. Bagaimana pun kebebasan menyampaikan pendapat bukan pula berarti bebas sebebas-bebasnya.

Hoax lebih berpengaruh menimbulkan dampak pidana daripada merupakan cara atau bagian dari menyampaikan pendapat. Kebebasan pendapat kalau merusak ya harus dilarang. Hoax jika dipandang sebagai bagian dari cara baru masyarakat infromasi dalam menyampaikan pendapat, pikiran, atau keyakinan, dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” katanya.

Perumusan delik formil atas penyebarluasan hoax dapat diancam pidana relatif ringan, yaitu paling lama dua tahun. Dalam hal ini delik dirumuskan dalam bentuk proparte dolus proparte culpa (bisa dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaannya). Pada pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memuat larangan perbuatan menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.

“Keonaran di kalangan masyarakat tidak harus benar-benar timbul, tapi cukup potensi ke arah itu sudah bisa mengarah ke sana (dipidanakan). Minimnya ketentuan pidana yang mudah diterapkan terhadap perbuatan penyebarluasan hoax menuntut adanya kriminalisasi baru terhadap aktivitas tersebut. Terutama perbuatan yang masih sulit dijangkau ketentuan pidana yang ada sekarang, yang justru menjadi hoax yang meresahkan,” tegas Chairul.

Akademisi dari Universitas Semarang Ani Triwati SH MH menyampaikan, hoax bisa dipidanakan selama alat buktinya memenuhi ketentuan. Alat bukti bisa berupa bukti fisik surat, informasi elektronik, maupun dokumen elektronik sebagai perluasan alat bukti yang sah. Namun, perlu diperhatikan benar tujuan pemidanaan agar penerapan hukuman tidak kaku. (Ul, Diskominfo Jateng)

 

 

Berita Terkait