Tekan Tengkes, Jateng Gencarkan “Care Stunting”

  • 04 Mar
  • bidang ikp
  • No Comments

SURAKARTA – Pencegahan tengkes alias stunting jauh lebih efektif ketimbang pengobatan. Karenanya, Pemerintah Provinsi terus menggencarkan Care Stunting, agar masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif melakukan perbaikan generasi, untuk kesejahteraan.

Hal itu disampaikan Ketua Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI) sekaligus konsultan penanganan stunting, Anung Sugihantono. Dikatakan, seperti terjemahannya, care diartikan sebagai rasa tanggung jawab, bukan sekadar menyembuhkan atau melayani.

“Sementara, stunting bukan hanya tentang gizi dan pangan, namun juga menyangkut perilaku, edukasi, literasi, bahkan prestise masyarakat yang maju dan mandiri,” beber Anung, saat Forum Koordinasi Percepatan Penurunan Stunting Tingkat Kabupaten/ Kota eks-Karesidenan Surakarta dan Pati, di Hotel Harris Surakarta, Senin (4/3/2024).

Dia menekankan, penurunan stunting saja tidak cukup, karena penurunan bisa bersifat semu, dengan tidak melaporkan angkanya. Yang lebih penting justru penanggulangan stunting, dengan mencegah yang belum terjadi, atau kalau sudah terlanjur stunting, dapat diminimalkan dampaknya.

“Karena stunting berpengaruh pada kecerdasan dan kemampuan intelektual lainnya,” ungkap Anung.

Ditambahkan, Care Stunting bisa dirinci menjadi beberapa langkah penanganan. Yakni, CAri, temukan dan layani kelompok sasaran, REdefinisi pendekatan dengan penyelesaian faktor risiko ke arah hulu. Sasaran tak hanya diberi makanan tambahan, tapi juga diedukasi. Kemudian, TUNgguin dan pastikan makanan tambahan habis dikonsumsi sasaran, dan TINGkatkan partisipasi masyarakat untuk ke posyandu.

“Jadi, konteks makanan dalam perspektif edukasi harus muncul dalam perspektif operasional. Intervensi makanan bisa dilakukan, namun bersifat individual,” terangnya.

Anung menyampaikan, edukasi gizi kepada masyarakat sangat penting. Ajarkan mereka cara memilih, mengolah, dan menyajikan makanan, sehingga makanan yang dikonsumsi beragam, bergizi, seimbang, dan aman.

“Pastikan ada keberimbangan. Makanan lokal kita masih layak dan cukup baik. Misalnya, daun kelor yang pernah dicap menjadi makanan orang paling miskin di NTT, sekarang jadi produk yang sangat berarti karena bergizi tinggi,” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Jateng Ema Rachmawati. Diakui, edukasi kepada masyarakat mesti terus dilakukan, agar tidak terjadi bias pemahaman.

Dia menunjuk contoh, pemberian tablet Fe untuk mencegah anemia, mesti diimbangi dengan konsumsi protein hewani. Sehingga, zat besi dalam suplemen tersebut dapat diikat dan diserap tubuh.

“Saya sendiri juga baru dikasih ilmu dari Pak Anung. Coba yang sudah minim tablet Fe, diperiksa fecesnya. Kalau berwarna kehitaman, coba periksa, jangan-jangan Fe-nya tidak terserap dengan baik,” terang Ema.

Pemberian makanan pada anak pun, menurutnya, berbeda-beda tergantung usia. Untuk itu, ibu perlu difahamkan cara memberikan makanan pendamping air susu ibu (MPASI) yang benar, baik kandungan gizi, jumlah, dan memastikan makanan tersebut benar-benar masuk ke mulut anak.

“Kalau anak tidak mau makan bagaimana? Apakah cukup hanya dikasih biskuit? Jadi ibu memang harus diedukasi,” tandasnya. (Ul, Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait