Masjid An Nur Diponegoro Semarang, Lentera Muslim di Hiruk Pikuk Pecinan

  • 24 Jan
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Masjid An Nur Diponegoro adalah sebuah tempat ibadah yang terletak di Kampung Menyanan Kecil, kawasan Pecinan, Semarang. Selaras namanya yang berarti cahaya, keberadaan masjid ini bak lentera bagi muslim yang tengah mengais rezeki di jantung Tiongkok Kecil.

Seperti yang terlihat pada Kamis (23/1/2020). Kumandang azan Ashar baru saja selesai melantun melalui pengeras suara masjid. Selintas kemudian, nampak pria paruh baya, mengendarai motor butut, Achmad, namanya. Setelah menyibak padatnya lalu lintas Jl. Kranggan, ia lantas, memuntir tuas gas berbelok memasuki gang Beteng no 309. Tujuannya, masjid berdinding keramik warna krem itu.

Setelah memarkir motor, ia  langsung menuju tempat wudhu di sisi barat, yang dikhususkan untuk ikhwan (sebutan bagi muslim laki-laki). Setelah merampungkan ritual basuh itu, ia segera merangsek ke barisan jamaah yang telah separuh jalan, menunaikan rakaat ketiga.

Ketika telah menuntaskan ibadah, rambut Achmad masih terlihat basah. Namun, raut mukanya menunjukan rasa lega.

Alhamdulillah, kalau waktu istirahat bekerja saya selalu menyempatkan ke sini. Ini kebetulan selesai kerja, mampir salat,” ujar karyawan koperasi di sekitar Pecinan itu.

Ia mengaku tak menemui kendala beribadah selama bekerja di kawasan tersebut.

“Saya merasa tenang beribadah di sini. Toleransi pun sangat baik. Tidak ada paksaan, tidak ada intervensi. Ya senanglah,” ucapnya.

Hal serupa diungkapkan oleh Arif. Sebagai warga pendatang, ia menyebut toleransi antar umat beragama dan etnis berjalan dengan baik. Menurutnya, meski kawasan Pecinan Semarang selalu disibukkan dengan urusan dagang, namun selalu ada jeda buat muslim untuk menjalankan ibadah.

“Bagus kok hubungan warga di sini. Di depan masjid itu kan warga Tionghoa. Tidak ada komplain,” kata penjual nasi goreng itu.

 

Petilasan Diponegoro

Masjid An Nur Diponegoro, begitu nama yang terpampang di spanduk yang terpasang pada dinding wudhu ikhwan. Bukan tanpa alasan, takmir masjid menambah nama Pangeran Selarong itu. Konon, masjid itu adalah bekas tempat bersujud dan lokasi persembunyian Diponegoro.

Ihwal itu diceritakan oleh Takmir Masjid An Nur, Sumarno. Konon, berdasar cerita yang ia warisi dari petugas masjid sebelumnya.

“Ya itu saya diceritakan ya, jadi dulu pas waktu ditemukan (tahun 1960an) ada bekas tempat sujudnya. Kemudian ceritanya juga di situ dulu buat sembunyi Pangeran Diponegoro. Nah jadinya dinamakan itu,” tuturnya.

Ia menambahkan, saat ditemukan masjid masih dalam kondisi memrihatinkan. Lantaran, lama tak dipakai, dan tertutup tembok.

“Lantas ada orang yang dulu mengaku bermimpi diberi petunjuk, adanya bangunan itu. Namun sayang, saat ini saya tidak tahu lagi ada bukti (petilasan). Cuma, ada kayu blandar, yang (diduga) peninggalan jaman dulu,” ujarnya.

Dari wujud surau yang hanya 4×4 meter persegi, kini telah diperbesar dimensinya hingga 10×22 meter. Statusnya kini pun telah menjadi bangunan cagar budaya. Sekarang, Masjid An Nur menjadi tujuan bagi pekerja muslim di sekitar Pecinan, terutama saat Salat Jumat.

 

Ganjar Kagumi Toleransi di Pecinan

Kisah Masjid An Nur itu pun menarik perhatian Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Bahkan, orang nomor satu di Jateng itu menyempatkan Salat Jumat di masjid tersebut, Jumat (24/1/2020). Ganjar menilai saat ini semangat toleransi di wilayahnya terjaga dengan baik.

“Secara umum toleransi di Jawa Tengah, Alhamdulillah bagus, indeks-indeksnya juga bagus. Kita selalu saja kalau ada yang berbeda pendapat, kalau saja kalau ada yang bicara mak petingil, suarane radha bedha itu, saya kira yang lain bicara, silaturahmi,” kata Ganjar.

Ganjar juga mengaku kagum dengan Masjid An-Nur Diponegoro di kawasan Pecinan Semarang. Dia memutuskan Salat Jumat di masjid tersebut, setelah sebelumnya diberitahu warga ada masjid di kawasan Pecinan. Seketika hal itu membuatnya terkagum-kagum. Sebab hal itu penting untuk diketahui masyarakat.

“Menurut saya menarik dan ini sebuah pertunjukan yang menurut saya ya perlu selalu dirawat dijaga. Sehingga yang etnis Tionghoa dan etnis Jawa, etnis Arab, apapun yang ada tenyata bisa hidup rukun ada dan ini bukan 10 tahun atau 20 tahun, tapi sudah ratusan tahun. Yang begini-begini penting untuk ditampilkan kepada publik karena kita butuh merawat itu,” jelasnya.

Bahkan saat azan Jumat yang terdengar keras, dari pantauannya, tidak terlihat adanya warga sekitar yang merasa terganggu. “Tadi pas azan keras mereka-mereka sekitar tidak merasa terganggu. Asyik aja gitu. Ini bentuk yang bagus yang muslim mesti hormat,” ungkap dia. (Pd/Ak/Ul, Diskominfo Jateng)

 

Berita Terkait