Disulap Lebih Nyaman, Kota Lama Semarang Makin Dipadati Pengunjung

  • 23 Aug
  • bidang ikp
  • No Comments

SEMARANG – Revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang beberapa tahun ini, sudah berhasil mengubah wajah kawasan Kota Lama Semarang yang kian nyaman disinggahi wisatawan. Kondisi tersebut kontras jika dibandingkan 10 tahun yang lalu, di mana masih banyak ditemui bangunan rusak, lingkungan kotor, dan sudut-sudut gelap.

“Bahwa memang kalau dulu kita ada di Kota Semarang atau di Kota Lama, kesannya mohon maaf, nggak baik. Akan tetapi saat ini kita sulap betul, beberapa tahun terakhir mulai kita perbaiki. Yang paling berat adalah bagaimana mindset masyarakat menilai Kota Lama Semarang ini. Itu yang paling berat,” kenang Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, ketika menghadiri Rakernas IX Jaringan Kota Pusaka Indonesia, di Ballroom Borsumij Heritage Kota Lama Semarang, Rabu (23/8/2023).

Menurut wagub, upaya keras pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah image Kota Lama Semarang, kini sudah mulai bisa dilihat hasilnya. Kunjungan wisatawan di Kota Lama Semarang yang menghadirkan destinasi wisata sejarah dan budaya, terhitung padat. Terutama di masa-masa liburan.

“Saat ini juga diberlakukan di waktu-waktu tertentu kendaraan beroda empat, (kendaraan) bermotor tidak boleh melintas di Kota Lama ini. Sehingga, mereka kita ajak untuk berjalan kaki, menikmati Kota Lama yang copy paste dari Belanda atau dari negara Eropa, yang mana mereka tidak suka kebisingan. Mereka senang berjalan kaki. Maka mereka benar-benar diajak untuk menikmati keindahan Eropa di Jateng, di Indonesia,” urainya.

Wagub menambahkan, hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Kota Lama Semarang, yakni di alun-alun Kauman dan Pasar Johar, wisatawan juga bisa menyaksikan kehidupan masyarakat dari berbagai ras yang guyub. Di lokasi itu, menjadi tempat tinggal bagi warga suku Jawa, Arab, dan Tionghoa. Meski hidup berdampingan, tidak ada friksi di antara mereka.

“Tidak jauh dari sini, mungkin sekitar 500 meter atau satu kilometer, kita bisa menikmati bagaimana masyarakat Arab, Cina, dan suku Jawa kumpul bareng, bergandengan, dikumpulkan. Dan yang menarik, di situ ada pasarnya juga. Artinya apa, pertumbuhan ekonomi itu bisa ditopang, bisa di-push, ketika masyarakatnya bisa bersatu, bisa bergotong royong, bisa bersama-sama, nggak ada gontok-gontokan,” tutupnya. (Humas Jateng)*ul

 

Berita Terkait