Thalasemia, Kenali dan Pahami Penanganannya

  • 30 May
  • yandip prov jateng
  • No Comments

BATANG – Terhitung awal Mei 2021, jumlah penderita thalasemia di Indonesia mencapai 10.555 orang. Meski relatif sedikit dibandingkan penyakit kronis lainnya, namun penyakit kelainan darah tersebut memerlukan perhatian dan penanganan khusus karena berdampak fatal bila cenderung diabaikan.

Demikian disampaikan Dokter Spesialis Anak RSUD Kalisari Batang, Tan Evi Susanti, saat ditemui di ruang kerjanya, baru-baru ini.

Menurutnya, thalasemia merupakan penyakit yang cenderung diturunkan secara genetis. Kasus thalasemia biasanya mulai muncul pada anak-anak. Sayangnya, belum banyak orang tua penderita yang memahami tentang tata cara perawatan dan penanganannya.

“Kondisi ini menyebabkan tubuh kadar Hemoglobin (HB) lebih rendah dari orang normal pada umumnya. Penderita thalasemia mayor harus dibantu dengan transfusi darah setiap 2-4 minggu sekali seumur hidup,” bebernya.

Lebih lanjut, para penderita penyakit tersebut diharuskan untuk meminum obat kelasi besi secara rutin setelah transfusi darah. Tujuannya menghindari penumpukan zat besi dalam darah.

“Kalau hal itu tidak dilakukan akan memicu komplikasi hingga menyebabkan kematian,” imbuhnya.

Hingga saat ini, ujar Evi, para ilmuwan belum mengetahui tentang cara pencegahan munculnya thalasemia dan memutus mata rantai pewarisannya secara genetis. Ahli kesehatan hanya bisa menyarankan pencegahannya secara sosial.

“Pencegahannya dengan screening darah di usia subur. Kalau sudah tahu menderita thalasemia agar cari pasangan hidup jangan yang sama memiliki potensi atau pembawa thalasemia,” tuturnya.

Evi juga menjelaskan, kasus penderita thalasemia di Kabupaten Batang selalu bertambah, namun kenaikannya tidak drastis.
Jumlah penderita thalasemia di Kabupaten Batang sekitar 30 orang, terdiri dari 25 orang usia anak-anak dan lima orang usia dewasa.

Sementara itu, orang tua penderita thalasemia asal Bandar, Sri Murti, menceritakan pengalamannya merawat dua orang anaknya.

“Keseharian merawatnya seperti anak normal biasa, hanya saja lebih memperhatikan dalam minum obat kelasi besi untuk mengurangi penumpukan zat besi akibat transfusi,” katanya.

Dijelaskan, anak pertamanya ketahuan mengidap thalasemia sejak kelas 5 SD, sedangkan anak kedua sejak TK.

“Pertama mengetahui anak thalasemia saya menangis, akan tetapi selanjutnya kita ikhtiar saja untuk tranfusi darah sesuai saran dokter dan ikhlas saja menjalaninya,” tambahnya.

 

Penulis: Edo, MC Batang
Editor: Tn/Ul, Diskominfo Jateng

Berita Terkait