Kain Tenun Kluwung Gendong yang Semakin Langka

  • 13 Mar
  • yandip prov jateng
  • No Comments

 

PURBALINGGA – Jari jemari nenek Kastinah (67) yang tampak keriput, dengan lincah memilah dan memasukan benang demi benang. Tangan yang sudah mulai lemah itu juga sesekali menggerakkan cacag, bagian dari alat tenun tradisional.

Kastinah yang tinggal di RT 1/RW 1 Desa Tajug, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga, menjadi salah satu warga yang masih membuat kain tenun kluwung gendong.

“Lare-lare sakniki sampun mboten purun nenun. Milihe kerja teng pabrik. Anak kula kalihe nggih mboten purun nerusake niki (Anak-anak sekarang sudah tidak mau menenun. Semua memilih bekerja di pabrik. Anak saya dua-duanya juga tidak mau meneruskan untuk menenun),” tutur Kastinah, Kamis (12/3/2020).

Kain tenun kluwung gendong kini menjadi barang langka di Desa Tajug. Dulu, sebagian besar warganya bekerja menenun kain kluwung. Seiring berjalannya waktu, kini hanya enam orang saja yang masih menekuni sebagai perajin meski hanya sambilan. Usia mereka pun rata-rata sudah tua.

“Paling kantun enem wong ingkang taksih nenun. Umure sampun sepuh sedaya. Mboten enten lare-lare ingkang purun nerasaken (Perajinnya tinggal enam orang. Usianya sudah tua semua. Tidak ada anak-anak yang mau meneruskan),” tutur Kastinah.

Dia mengaku tak mengetahui pasti, mulai kapan perajin tenun Kluwung ada di Desa Tajug. Seingatnya, sudah sejak zaman neneknya, karena sejak dia lahir, sudah ada perajin kain tenun kluwung di Desa Tajug.
“Ceritane mbahe kula, ingkang ndamel kain tenun kluwung sampun wonten sejak jaman Landa. (ceritanya nenek saya, kain tenun kluwung sudah ada sejak zaman Belanda),” kisahnya.

Untuk membuat satu lembar kain tenun kluwung ukuran 60 cm X 120 cm membutuhkan waktu seminggu. Pekerjaan itu dilakukan Kastinah hanya sebagai sambilan. Tidak setiap hari penuh bekerja untuk menenun.

“Seminggu saged rampung setunggal (Satu minggu bisa selesai satu lembar kain),” tuturnya.

Harga satu lembar kain tenun kluwung Rp 200 ribu. Permintaan kain dari luar daerah selalu ada, tetapi hasil tenunan tidak tersedia. Pedagang yang akan membeli kebanyakan dari Wonosobo.

Kepala Desa Tajug, Kuswoyo mengungkapkan, kerajinan kain tenun kluwung gendong telah dimulai puluhan tahun silam, sejak Indonesia belum merdeka. Pada masa kolonial Belanda dan zaman penjajahan Jepang, merupakan puncak kejayaan kain tenun khas Desa Tajug Karangmoncol, Purbalingga ini.

Awal mula proses produksi dan penentuan harga terjadi pada zaman Jepang. Saat itu, masyarakat masih menggunakan pakaian terbuat dari karung goni. Warga desa Tajug kemudian mencetuskan pembuatan kain tenun kluwung sebagai baju. Ada juga yang menggunakan sebagai kain untuk menggendong dagangan atau menggendong anak kecil, sehingga disebut kluwung gendong.

“Saat ini kami akui, kejayaan kain tenun Kluwung telah berlalu. Bahkan, kondisinya terancam lantaran perajin kain hanya tersisa sekitar 10 orang. Enam perajin masih aktif dan rutin menenun. Sedangkan lainnya, hanya memproduksi ketika ada pesanan,” kata Kuswoyo.

Dia menjelaskan, jumlah produksi maupun pemasaran sudah menurun terkena dampak perkembangan zaman dan teknologi.

“Wilayah Bumiayu dan Wonosobo merupakan area pemasaran tertinggi . Kain tenun kluwung tidak lagi untuk baju, tetapi sebagai alat untuk menggendong,” ujar Kuswoyo.

Penulis: Kontributor Purbalingga
Editor: dnk/Diskominfo Jateng

Berita Terkait