Masyarakat Diminta Lebih Peka Bedakan Batik Asli dan “Printing”

  • 08 Oct
  • yandip prov jateng
  • No Comments

KOTA PEKALONGAN – Meski pemrosesan batik semakin beragam, perajin batik di Kota Pekalongan tetap mempertahankan proses membatik secara manual atau dikenal dengan proses tulis.

Ketua Paguyuban Pencinta Batik Pekalongan sekaligus pendiri Batik Tobalt, Fatchiyah A Kadir mengatakan, saat ini banyak bermunculan produk printing motif batik. Hal itu tentu berdampak pada keberadaan batik asli yang diproses secara manual. Untuk itu, ia mengajak kepada masyarakat luas untuk cerdas dalam memilih dan membeli produk batik asli.

“Saya ingin mengajak masyarakat untuk melindungi dan menjaga keberlangsungan pengrajin batik di Kota Pekalongan, melindungi masyarakat yang membeli produk batik di atau dari Kota Pekalongan, sekaligus melestarikan batik sebagai warisan budaya bukan benda dari UNESCO,” ujarnya.

Ia menegaskan, printing batik bukanlah kategori batik, melainkan tekstil bermotif. Meskipun, memang sulit untuk membedakan yang asli dengan printing.

“Harus dipelajari, teliti, dan dipegang langsung. Sebab, batik bukan sekadar tentang motif atau corak, tetapi proses membatik itu sendiri,” tutur Fatchiyah.

Untuk mengedukasi masyarakat dalam membedakan antara produk tekstil bermotif batik dengan produk batik, lanjutnya, memang memerlukan waktu. Dibutuhkan kecintaan untuk benar-benar mampu mengidentifikasi batik tulis, batik cap, batik kombinasi, dan kain yang dicetak batik atau printing.

Ia juga mengingatkan perlunya pengawasan pada penggunaan label “Batik Pekalongan” sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2014. Dalam Perda tersebut, mewajibkan semua produsen atau penjual batik di atau dari Kota Pekalongan untuk menempelkan label “Batik Pekalongan”pada produknya.

“Perlu pengawasan pemakaian label Batik Pekalongan, sehingga tidak disalahgunakan oleh produsen batik yang tidak jujur,” tegasnya.

Sementara itu, pelaku industri batik, Romi Okta Birawa menjelaskan Kota Pekalongan telah dikenal sebagai Kota Batik Dunia atau World’s City of Batik. Karenanya, perlu upaya membangun branding kota tersebut, sekaligus mitos dari batik itu sendiri.

Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih peka dan dapat membedakan mana batik asli dengan printing. Sebab, batik tak sekadar pakaian atau kain, tetapi juga memiliki nilai-nilai filosofi hidup

“Maknanya kekuatan tradisi cerita batik itu sendiri yang perlu dikuatkan, di mana merupakan added value dari batik tersebut. Kita tidak cukup hanya bangga terhadap batik ini yang sudah diakui dunia, tetapi ada potensi yang terpendam di dalam batik,” tandasnya.

Penulis : Tim Komunikasi Publik Dinkominfo Kota Pekalongan
Editor : Rk, Diskominfo Jateng

Berita Terkait