Jangan Sampai Cerita Tradisi “Dibelokkan”

  • 03 Nov
  • Prov Jateng
  • No Comments

Klaten – Setiap bulan Safar dalam penanggalan Islam, masyarakat Kabupaten Klaten melaksanakan tradisi yaaqawiyyu yang menjadi peninggalan Ki Ageng Gribig, ratusan tahun lalu. 

Ki Ageng Gribig atau bernama asli Wasibagno Timur adalah ulama besar yang menyebarkan Islam di Desa Krajan, Jatinom, Klaten dan sekitarnya. Ki Ageng Gribig sangat menguasai strategi berdakwah, sehingga dakwahnya mengena di hati masyarakat. Mereka yang saat itu masih banyak yang atheis, akhirnya mau memeluk Islam.

Suatu saat, Ki Ageng Gribig pulang dari Mekah dan membawa buah tangan berupa kue apem yang hendak dibagikan kepada saudara, murid maupun tetangga. Tapi karena tidak cukup, Ki Ageng Gribig kemudian meminta kepada keluarganya untuk dibuatkan kue apem. Apem yang berasal dari kata affum dan artinya maaf itu kemudian disebut apem yaaqawiyyu.

Kata yaa qawiyyu diberikan karena saat menutup pengajian, Ki Ageng Gribig selalu memanjatkan doa yang berbunyi “Ya qowiyu yaa aziz qowina wal muslimin, ya qowiyyu warsuqna wal muslimin“. Artinya, ya Tuhan, berikanlah kekuatan kepada kita segenap kaum muslimin.

Bermula dari kisah itu, sebar apem yaa qawiyyu menjadi tradisi masyarakat Klaten hingga sekarang. Masyarakat yang menanti tradisi yang dipercaya membawa berkah itu pun, menyebar hingga ke daerah tetangga. Tak ayal, Sendang Plampeyan, lokasi yang menjadi tempat sebar apem pun seperti lautan manusia.

Setelah melaksanakan salat Jumat, masyarakat langsung berbondong-bondong menuju Sendang Plampeyan. Gunungan apem yang terdiri dari gunungan lanang dan gunungan wadon pun diarak dari Masjid Ageng Jatinom menuju sendang. Gunungan disusun menurun seperti sate dengan susunan 4-2-4-4-3 yang melambangkan jumlah rakat salat lima waktu. Dalam susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang menyimbolkan bahwa masyarakat sekitar hidup dari sektor pertanian. Di puncak gunungan diberi mustaka seperti mustaka masjid.

Setibanya di sendang, gunungan yang berisi enam ton apem tersebut didoakan terlebih dahulu, baru kemudian disebarkan. Untuk mendapatkan apem tersebut, tak sedikit masyarakat yang berada di bawah sendang membentangkan kain jarik atau jaring.

Menurut Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP yang turut hadir dalam acara tersebut, Jumat (3/11) kegiatan-kegiatan kebudayaan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai ajaran agama, perlu diceritakan secara lengkap pada generasi muda. Sehingga pemahaman mereka bisa utuh.

“Di sini masih ada sesepuh, pasti bisa menceritakan. Jangan sampai hilang cerita itu (Perjuangan Kyai Gribig). Sebab dulu masuknya kan tentu tidak tiba-tiba, menggunakan cara halus, baik, dan semua ada filosofinya,” katanya.

Cerita-cerita tersebut, lanjut Ganjar, bisa disampaikan pula melalui media sosial. Misalnya, siapakah Ki Ageng Gribig, bagaimana bisa sampai ke Jatinom, dan apa ajarannya yang baik.

Gubernur berpendapat cerita seperti itu perlu disampaikan supaya tidak “belok”. Dia mencontohkan wisata religi Gunung Kemukus di Kabupaten Sragen. Di tempat tersebut terdapat makam penyebar agama Islam bernama Pangeran Samudro, yang saat ini masih terus dikunjungi para peziarah.

“Tapi sampai saat ini ceritanya berbeda. Dan saya ke sana, kok jadinya seperti itu. Ternyata ceritanya berbeda. Misalnya kalau ingin dapat pangkat dan rezeki datang ke sini dan begini, kumpul dengan istri orang lain, ini kan sesat,” ungkap mantan anggota DPR RI ini.

Karenanya, dia menandaskan agar dalam melestarikan kebudayaan harus diceritakan secara lengkap mengenai perjuangan para pendahulu dan manfaat apa yang bisa dirasakan saat ini.

 

Penulis : Rt, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Berita Terkait